Medan, 27/1 (LintasMedan) – Siapa tak kenal nama Ratna Sarumpaet. Wanita paruh baya ini adalah pejuang dan aktivis Hak Azasi Manusia (HAM).
Namanya sudah berkibar dari kasus Marsinah seorang buruh yang tewas akibat memperjuangkan hak-hak buruh di masa Orde Baru.
Masih ada getar dari bibir Ratna tatkala kembali menyinggung dan menyebut nama Marsinah. Matanya terlihat berkaca-kaca.
Menurutnya kasus Marsinah inilah yang mengawali tekadnya terpanggil menjadi aktivis.
“Saya terpanggil karena merasa di kasus itu ada penzaliman terhadap perempuan,” kata seniman ini pada acara Silaturahmi Aktivis Sumatera Utara di Medan, Jumat malam.
Aktivis pro demokrasi kelahiran, Tarutung, Tapanuli Utara – Sumatera Utara 16 Juli 1949 itu mengaku heran masih ada manusia tidak mengerti asal-usulnya yang terlahir dari rahim seorang perempuan.
“Wanita adalah rahim dan rahim itu adalah awal dari kehidupan. Jadi sangat zalim jika ada orang yang tak mengerti asal usulnya terlahir dari rahim perempuan,” ucap ibu empat anak ini.
Tekanan yang dihadapi akibat berbeda pendapat dengan rezim pemerintah bukan hal baru bagi Ratna Sarumpaet.
Kritik lewat jalur seni yang dilakukannya terhadap kasus Marsinah membuat Ratna terseret dan terpaksa berhadapan dengan hukum pada rezim Orde Baru.
Begitu juga di era pemerintahan Presiden Habibie, Ratna juga kerap melakukan kritik dan menolak sistem pengangkatan Habibie menggantikan Suharto.
“Di sini saya bukan menolak orangnya tapi sistem pengangkatan Habibie yang dilakukan tidak demokrasi,” ucapnya.
Perlawanan juga dilakukan alumni Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Dia menilai segala peraturan dan Undang-undang di era itu terkesan jauh meninggalkan nilai-nilai Pancasila.
“Sedikitnya ada empat kali saya berhadapan dengan hukum akibat tidak sependapat dengan rezim pemerintah,” ucapnya.
Namun, di era rezim pemerintah saat ini dia mengaku lebih prihatin.
Tuduhan makar diterima Ratna Sarumpaet tatkala melakukan kritik pedas terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap kurang pro rakyat. Gerak geriknya pun kerap diawasi aparat.
Meski demikian sejumlah tekanan itu tak melemahkan tekad dan semangat seorang Ratna Sarumpaet untuk terus berjuang mengusung kebebasan berdemokrasi di negeri ini.
Salah satunya dengan senantiasa memotivasi kalangan aktivis sebagaimana yang dilakukannya pada dialog di Medan tersebut.
“Jadi sistem demokrasi di Indonesia memang sangat memprihatinkan, namun biarlah waktu yang menjawab dan Allah pasti punya jalan untuk menolong saya dan menolong kita semua,” ucap ibu dari artis Atiqa Hasiholan ini. (LMC-02)