Irak, 14/10 (LintasMedan) – Pemerintahan baru Irak di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi memutuskan bahwa cara yang baik untuk merekrut menteri baru adalah membiarkan anggota masyarakat yang tertarik melamar secara online.
Namun apa yang kemudian terjadi sungguh tak mereka sangka, seperti dilansir dari BBC Indonesia, Minggu (14/10).
Hingga 13 Oktober, tercatat sudah 36.006 orang yang mendaftar secara online, tetapi hanya 9.317 orang yang telah menyerahkan semua dokumen yang disyaratkan.
Politikus yang ditunjuk sebagai perdana menteri, Adel Abdul Mahdi, menulis di Facebook bahwa “mereka yang memiliki keahlian, spesialisasi dan pengalaman praktis” harus mengajukan nama-nama mereka di sebuah situs web khusus pemerintah.
Adel Abdul Mahdi di halaman Facebook-nya terkesan bangga memposting rinciannya yang menunjukkan beragamnya lamaran.
“Sekitar 97 persen dari para calon, independen secara politis; 15 persen adalah perempuan, dan para kandidat berasal dari semua provinsi Irak,” tulis Perdana Menteri.
Ia berharap metode ini akan menghasilkan suatu tim menteri teknokrat berkaliber tinggi, bebas dari ketegangan politik, etnis dan sektarian yang telah melanda negara itu sejak jatuhnya Saddam Hussein pada 2003.
Selain itu, ia juga menginginkan pemerintahan yang dipimpinny kelak bebas dari tuduhan favoritisme, korupsi dan ketidakmampuan.
Pemerintah Irak menghadapi tugas berat membangun kembali negeri itu setelah empat tahun perang melawan kelompok Negara Islam atau ISIS yang menyebabkan puluhan ribu rumah dan bisnis hancur dan lebih dari tiga juta orang terusir dari rumah-rumah mereka.
Tanggapan publik terhadap prakarsa baru PM baru Irak itu dianggap luar biasa mengesankan.
Tidak semua pelamar akan dipertimbangkan untuk posisi-posisi di pemerintahan. Seperti yang dikatakan Mahdi, hanya 9.317 orang dari puluhan ribu itu yang telah menyerahkan semua dokumen yang disyaratkan.
Sebagaimana diketahui, perdana menteri Irak sebelumnya juga telah mencoba melakukan perubahan dalam menyusun kabinet.
Ia tak lagi menunjuk politikus, melainkan para ahli non-partai, menyusul protes massal pada tahun 2016 terhadap buruknya situasi keamanan dan layanan publik.
Namun, kebijakan itu ditentang oleh partai-partai dalam pemerintahan koalisinya yang mendesaknya untuk membalikkannya lagi ke keadaan semula. (LMC-05/BBC)