

Lubuk Pakam, 17/7 (LintasMedan) – Sekitar 50 Kepala Keluarga di kawasan Kampung Pala Desa Aras Kabu Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang, mengaku belum pernah menerima kompensasi apapun atas lahan yang mereka tempati terkena jalur pembuatan rel ganda kereta api Bandara Kualanamu International Airport (KNIA).
“Jangankan ganti rugi, tali asih yang sebelumnya pernah dijanjikan sepeserpun tidak pernah kami terima,” kata salah seorang warga, J Saragih, kepada anggota DPRD Sumatera Utara, Eveready Sitorus yang melakukan kunjungan reses ke wilayah itu, Minggu.
Menurut Saragih, sebelumnya mereka getol berjuang untuk mendapatkan haknya itu hingga ke Komisi A DPRD Sumut.
“Namun belakangan kami takut karena berhadapan dengan Militer,” ujarnya.
Mendengar keluhan warga yang sama sekali belum menerima ganti rugi tersebut, Eveready yang juga Politisi Gerindra ini sedikit terkejut serta mempertanyakan alas hak lahan yang diduduki warga.
Namun, warga mengatakan lahan mereka bukan berada di wilayah PT PJKA karena berjarak 18 meter di luar jalur rel kereta api.
“Apalagi kami sudah puluhan tahun tinggal di sini,” kata Saragih.
Kampung Pala Desa Aras Kabu menurut warga juga terkesan tertinggal meski keberadaannya masih berdekatan dengan perkotaan.
Hal itu terlihat, kawasan jalan hasil swadaya masyarakat yang masih kupak-kapik dan mereka berharap areal lebih kurang 700 meter itu bisa di aspal.
Hal lain seperti penuturan R Boru Damanik, pengangguran juga terus dialami para pemuda di wilayah itu, meski di sekitar kawasan berdiri pabrik-pabrik raksasa serta pembangunan bandara KNIA.
“Tak seorangpun anak-anak di sini diterima bekerja, padahal sudah lelah mereka bolak balik membuat surat lamaran,” ucapnya.
Warga lainnya, Nensih Herlina br Saragih juga berharap agar Eveready yang juga anggota Komisi E DPRD Sumut memperhatikan pendidikan anak usia dini di wilayah desa itu, serta menyampaikannya kepada pemerintah.
“Taman Kanak-Kanak atau Paud sama sekali tidak ada di sini, kami harus mjenyekolahkan anak hingga ke Lubuk Pakam yang tentunya memerlukan biaya transportasi yang besar,” katanya.
Padahal, kata Herlina saat ini untuk masuk Sekolah Dasar (SD) anak-anak harus terlebih dahulu menjalani pendidikan TK agar tidak ketinggalan pelajaran.
Sementara untuk sektor pertanian, warga juga menyampaikan kepiluannya terkait minimnya air yang mengairi sawah mereka.
Tak jarang petani di situ menangis menanti air, bahkan terpaksa harus membelinya.
“Saya harus mengeluarkan biaya Rp1.5 juta membeli air untuk 7 rante areal sawah. Bayangkan Pak, jika untuk air saja segitu besar belum lagi pupuk dan racun hama,” keluh Boru Marbun yang berharap agar pompa air di wilayah itu terus diaktifkan sesuai debit yang dibutuhkan warga.
“Untuk masalah air ini kita akan pertanyakan ke Dinas PU. Jangan masyarakat mau menanam air tidak dihidupkan, tapi pas mau panen baru dihidupkan,” cetus Eveready.
Dia juga berjanji akan membawa sejumlah persoalan warga tersebut kepada Pemprov Sumut, termasuk masalah ganti rugi lahan warga yang terkena pembangunan rel kereta api.(LMC-02)