Jakarta, 24/12 (LintasMedan)- Saat ini masih ada lebih dari 51 juta orang di Indonesia yang buang air besar (BAB) sembarangan.
Bahkan di Jakarta sekitar 40% penduduknya masih membuang saluran dari toilet langsung ke sungai.
Untuk itu pemerintah menargetkan pada 2019 seluruh penduduk Indonesia memiliki akses sanitasi dan air bersih. Akses sanitasi itu termasuk memiliki sarana untuk mandi, cuci, kakus (MCK) yang memadai.
Kementerian kesehatan mengaku puluhan juta warga Indonesia masih tidak memiliki akses MCK, dan berperilaku buang air besar sembarangan.
“Kira-kira 51 juta, sebagian besarnya ada yang pinjam ke tetangga jamban komunal atau menggunakan cubluk untuk sarana BABnya, sisanya ada yang BAB sembarangan di sungai, di kebun dan di empang,” kata Eko Saputro, Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan laporan Tingkat dan Tren Kematian Anak-anak 2014 PBB, Indonesia menduduki peringkat kedua – setelah India – sebagai negara dengan tingkat BABS terbesar kedua di dunia, mencapai seperlima dari total populasi.
Menurut Eko perilaku BAB sembarangan tak hanya dilakukan oleh masyarakat desa tetapi juga kota-kota besar.
Di Jakarta, tercatat sekitar 40% warga masih BAB sembarangan, karena meski memiliki toilet yang bagus tetapi pembuangannya menggunakan pipa yang langsung ke sungai dan tidak menggunakan septic tank. Kondisi itu menyebabkan pencemaran air dan tanah.
“Kalau kita hitung manusia itu bisa mengeluarkan kira-kira tinja 0,4 kg per hari. Bayangkan berapa banyak tinja yang akan mengotori sungai atau tanah dan ketika hujan tanahnya mengalir mengotori sumur masyarakat,” kata Eko.
Selain mencemari lingkungan , BAB sembarangan juga berdampak langsung kepada masyarakat terutama kesehatan anak-anak.
“Angka kematian Diare diantara balita itu masih menjadi proporsi yang besar, sekitar 23%. Itu karena diare, penyakit lain seperti pneumonia atau radang paru-paru juga karena air tercemar, tidak cuci tangan dengan bersih.
“Itu karena kuman, infeksi kecacingan, usus terpapar terus oleh bakteri kuman dan tidak masuknya zat gizi terhadap tubuh anak sehingga timbul stunting (pendek). Tubuh anak menjadi tidak proporsional,” papar Dr Budi Setiawan, Spesial Kesehatan Badan PBB untuk urusan anak-anak UNICEF Indonesia.(LMC/BBC)