Medan, 27/9 (LintasMedan) – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan banyak perusahaan di provinsi itu yang diduga kuat melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, di antaranya dalam hal pemenuhan hak-hak normatif pekerja dan kebebasan berserikat.
“Pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan di provinsi ini (Sumut) terjadi akibat lemahnya pengawasan maupun lambannya proses penegakan hukum dari institusi yang berwenang,” kata Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo, saat bersama sejumlah massa FSPMI menggelar unjuk rasa sekaligus menyampaikan pernyataan sikap ke kantor DPRD Sumut di Jalan Diponegoro Medan, Rabu.
Dalam aksi unjuk rasa damai itu, massa FSPMI Sumut juga berharap kepada DPRD Sumut agar ikut pro aktif menyelesaikan berbagai persoalan buruh yang selama ini tidak tertuntaskan.
Ia menuturkan, pegawai pengawas ketenagakerjaan yang diberikan mandat sangat lamban menyelesaikan kasus-kasus ketenagakerjaan, termasuk jika terjadi sengketa pekerja dan buruh.
FSPMI Sumut mencatat, beberapa perusahaan yang dianggap mengabaikan hak-hak normatif pekerja tersebut, antara lain PT Starindo Prima, PT Girvi Mas, PT Atmindo, kesemuanya beroperasi di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang.
Selain itu, PT. Nusantara Jaya Plastik di Namorambe, Deli Serdang, PT Perkebunan Sumatera Utara di Kabupaten Batu Bara, PT The Univenus di Kecamatan Medan Labuhan serta PT Daya Kimia Jaya Mandiri dan PT Karya Delka Maritim di Belawan Medan.
“Kami berharap DPRD Sumut segera memanggil pemilik atau pimpinan perusahaan-perusahaan yang mengabaikan hak-hak normatif para buruh tersebut,” ucap Willy.
Menanggapi tuntutan dan aspirasi massa FSPMI tersebut, anggota DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan berjanji akan menyampaikan berbagai persoalan ketenagakerjaan itu kepada Komisi E DPRD setempat guna ditindaklanjuti dengan memanggil Dinas Ketenagakerjaan Sumut, pihak pimpinan masing-masing perusahaan dan institusi berkompeten lainnya.
Politisi PDI-Perjuangan ini juga tidak sependapat jika ada perusahaan yang membatasi pekerja/buruh berserikat, karena kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Seharusnya, kata Sutrisno, pihak perusahaan justru mendorong pekerja/buruh untuk berserikat sehingga perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan mereka dapat semakin efektif. (LMC-02)