Medan, 10/3 (LintasMedan) – Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Sumatera Utara (Sumut) Zonny Waldi mengatakan, awal berdirinya kerambah jaring apung (KJA) di kawasan Danau Toba merupakan program pemerintah pusat yang bernama Opsus (operasi khusus) Maduma Sejahtera.
Opsus itu mulai dikembangkan sekitar tahun 1986 dengan sasaran untuk mensejahterkan masyarakat kawasan Danau Toba yang saat itu masih berada di bawah garis kemiskinan.
“Opsus dipimpin oleh Solihin GP yang saat itu menjabat Sekretaris Pengendalian Pembangunan,” kata Zonny kepada wartawan, Kamis di kantor Diskanla Sumut, Jalan Sei Batugingging, Medan.
Saat itu kata Zonny, pekerjaan masyarakat di sekitaran Danau Toba banyak bertani sayuran, berladang, dan mencari kayu di kawasan hutan. Sementara pariwisata tidak dapat diandalkan untuk menopang perekonomian masyarakat sekitar. Sehingga oleh pemerintah pusat diambil kebijakan untuk memanfaatkan badan air Danau Toba dengan membuat KJA.
Bekerjasama dengan USAID maka KJA dibuat di pinggiran Danau Toba dengan ukuran 1×1 meter dan kedalaman jaring sekitar dua-tiga meter. KJA itu ditancapkan dengan kayu ataupun bambu.
“Jadi, masih sangat sederhana sekali. ikan yang dikembangkan pun waktu itu hanya ada ikan mas. Setelah berumur 100 hari atau berkisar tiga bulan ikan sudah bisa dipanen,” papar Zonny didampingi Sekretaris Diskanla Sumut Agustono dan Kasi Usaha Perikanan Tangkap Rajab Nasution.
Dikatakannya, budidaya ikan mas di KJA berhasil namun masyarakat masih malas untuk mengembangkannya karena pakan yang digunakan juga merupakan ikan kecil-kecil seperti ikan siburicak atau kepala timah yang harus direbus dulu sebelum diberi ke ikan mas.
“Barulah setelah perusahaan Charoen Pokphand masuk atau membuat KJA masyarakat mulai bergairah. Jadi, Charoen Pokphand ibaratnya sebagai stimulus. Sejak saat itulah KJA berkembang di kawasan Danau Toba atau di Tapanuli Utara (Taput). Waktu itu belum ada otonomi daerah kawasan Danau Toba masih didominasi Kabupaten Taput dan Simalungun,” tambah Agustono.
KJA yang tadinya hanya berukuran 1×1 meter dengan jumlah ikan yang ditebar berkisar 200-300 ekor per kerambah berubah menjadi KJA ukuran besar dengan kapasitas ikan berkisar 500 –an ekor lebih.
“Dari situlah terjadi perubahan ekonomi masyarakat Taput. Kita katakan program Opsus Maduma Sejahtera yang dipimpin Pak Solihin GP berhasil mengangkat perekonomian masyarakat Taput yang tadinya berada di bawah garais kemiskinan,” kata Zonny.
Perubahan itu semakin nyata lagi saat perusahaan asing masuk dengan mengembangkan ikan nila berskala ekspor yakni PT Aquafarm Nusantara sekitar tahun 1996. Hingga kegiatan itu diikuti perusahaan ikan lainnya, seperti PT Suri Tani Pemuka (STP).
Saat ini kata Zonny, jumlah KJA yang berada di kawasan Danau Toba data tahun 2015, milik masyarakat berkisar 11.249 unit, Aquafarm 457 unit dan STP 75 unit. Sementara produksi ikan yang dihasilkan dari KJA masyarakat totalnya berkisar 29.806,9 ton, Aquafarm 34 ribu ton dan STP berkisar 21 ribu ton.
“Dari total produksi itu, nilai ekspor yang diberikan dari perusahaan asing itu untuk tahun 2015 mencapai berkisar Rp 1,03 triliun,” terang Zonny.
Terkait dengan adanya penataan atau zonase dan Otorita Danau Toba, Zonny mengatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak.
“Kami hanya bisa mengimbau petani KJA dan perusahaan-perusahaan KJA untuk mengikuti aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Namun, yang jelas produksi ikan budidaya akan menurun,” kata dia.
Karena dalam penataan itu, jumlah KJA akan dibatasi, begitu juga jumlah ikan dalam KJA dan daerah yang dibolehkan untuk lokasi KJA. “Kita hanya memberi himbauan saja,” katanya.(LMC-05)