Medan, 30/8 (LintasMedan) – Komisi D DPRD Sumatera Utara menduga pelaksanaan tender Quarry atau pengerukan pasir laut untuk proyek pelabuhan terminal Belawan fase 2 sarat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Dewan juga menduga ada ‘permainan’ antara PT Wika, PT Pelindo dan PT Hutama Karya selaku pemilik saham dengan PT Eka Jaya Kridatama.
“Kecurigaan kita bermula pada ijin tender yang tidak dimiliki oleh PT Eka Jaya Kridatama. Sementara dua perusahaan yang berasal dari Sumut yakni PT. Pandu dan PT. AMK yang sudah memiliki kelengkapan ijin 99 persen dan mereka tinggal menunggu ijin kapal keruk yang dikeluarkan dari kementerian. Namun justru PT Eka bisa memenangkan tender dengan ijin tidak lengkap,” kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Sumut, H.M. Nezar Djoeli, ST, kepada wartawan di Medan, Jumat.
Sebelumnya Komisi D menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas persoalan tersebut, dihadiri BLH Provinsi Sumut, Dinas Pertambangan Energi, Bapedalda dan perusahaan peserta tender yang memprotes keputusan Wika Hutama serta pihak pemenang tender yakni PT Eka Jaya Kridatama.
RDP dipimpin ketua Komisi D Mustofowiyah Sitompul dan sejumlah anggota lainnya.
Menurut Nezar Djoeli, pihaknya mengetahui persoalan ini berawal dari laporan masyarakat kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan kerja ke Belawan beberapa waktu lalu untuk bertemu dengan kepolisian, Lantamal, Badan Lingkungan Hidup (BLH), Distamben dan masyarakat.
“Sejumah nelayan merasa keberatan dengan penumpukan kapal keruk untuk operasi pelabuhan petikemas Belawan,” ujar Politisi Nasdem ini.
Karena itu, lanjut Nezar Komisi D memanggil pihak terkait seperti PT. Wika, PT. Pelindo dan PT. Hutama Karya beserta perusahaan yang ikut dan memenangkan tender.
Dalam rapat tersebut terungkap PT. Eka Jaya Kridatama tidak pernah mengikuti proses tender seperti beberapa perusahaan lainnya. Hal ini membuat beberapa perusahaan yang mengikuti tender merasa keberatan.
Selain itu, PT. Eka Jaya Kridatama juga tidak memiliki ijin dan disinyalir memakai ijin PT. QPH Cipta Selaras yang merupakan perusahaan kontraktor penambangan nasional.
“Kuat dugaan telah terjadi permainan dalam penetapan pemenang pemilihan penyedia barang/jasa quarry (pengadaan pasir laut), karena dari pengaduan beberapa perusahaan kontraktor penambangan yang ikut tender, PT Ekajaya Kridatama tiba-tiba jadi pemenang tender yang sama sekali tidak ikut tender,” ketusnya.
Dia menilai dengan dimenangkannya PT Eka Jaya Kridatama, pihaknya menduga PT Wika, Pelindo dan Hutama Karya tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup di Sumut.
“PT. Eka Jaya Kridatama tidak memiliki izin-izin sesuai yang persyaratkan UU minerba (mineral energy dan pertambangan), namun hanya menggunakan izin yang dimiliki PT QPH, bahkan PT QPH dikabarkan tidak punya izin amdal (analisis dampak lingkungan),” cetus Nezar.
Menurut Nezar, pihaknya tidak mengurusi siapa yang menang untuk proses tender internal yang dilakukan PT. Hutama Karya , namun harus mentaati sebagaimana diisyaratkan UU yakni berbasis lingkungan dan harus memiliki perizinan yang sesuai.
“Jangan sampai dengan adanya kegiatan tersebut mengganggu ekosistem laut dan nelayan tradisionil dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Masyarakat dunia saja sudah perduli terhadap penataan lingkungan hidup. Kenapa perusahaan-perusahaan yang berkepentingan dalam kegiatan tersebut mengangkangi apa yang sudah diisyaratkan UU,” sesalnya. (LMC-02)