Medan, 25/10 (LintasMedan) – Sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada awal Maret 2020, para siswa, orangtua, dan guru di Indonesia harus menghadapi penutupan sekolah yang berdampak kepada 62,5 juta siswa, mulai dari tingkat pra-sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.
Sebagian besar sekolah dan madrasah telah menerapkan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu proses pembelajaran di rumah, meskipun pelaksanaannya bervariasi sesuai dengan keragaman geografis dan sosial ekonomi di seluruh pelosok negeri ini.
Meskipun pemerintah telah mengambil banyak langkah secara tepat waktu untuk mendukung pembelajaran dari rumah, COVID-19 masih menjadi tantangan besar bagi kelangsungan pendidikan.
Bank Dunia memperkirakan pandemi COVID-19 menyebabkan anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kisaran lima persen menjadi minus 1,1 persen.
Kondisi tersebut turut mengancam kelangsungan pendidikan sekitar 91 ribu anak usia sekolah dasar apabila hingga akhir Juli 2020 sebagian besar sekolah tetap dututup.
Peneliti dari IAIN Kendari, Imelda Wahyuni, mengungkapkan penutupan sekolah dalam rentang waktu yang cukup lama, rentan membuat anak-anak akan kehilangan sekitar sepertiga dari apa yang seharusnya mereka pelajari dalam satu tahun.
Jika sekolah tetap ditutup untuk waktu yang lebih lama tanpa adanya tindakan tambahan untuk mendukung pembelajaran, maka dipastikan kerugian bahkan menjadi lebih besar.
Siswa yang kurang beruntung secara ekonomi kemungkinan akan menjadi yang paling terdampak.
Di tengah penyebaran COVID-19 yang kian massif ketika itu, menurut dia, metode Pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam jaringan (daring) dinilai sebagai pilihan tunggal dan memberi warna khusus pada masa perjuangan melawan virus tersebut.
Aplikasi pembelajaran digital pun akhirnya menjadi ruang belajar baru bagi para tenaga pengajar yang menjadikan mereka lebih maksimal menguasai gaya komunikasi dan interaksi berbasis media.
Dikatakan Imelda, perubahan sistem pembelajaran di masa pandemi ini adalah wujud transformasi tidak terduga dan selanjutnya akan mewarnai perkembangan dinamika pembelajaran pada seluruh jenjang di masa mendatang saat badai COVID-19 telah berlalu.
Kondisi pembelajaran pada masa pandemi harus dapat dimanfaatkan dengan perubahan pola berpikir, pola belajar, pola inteksi ilmiah yang lebih bermakna sehingga kekakuan dalam menyikapi masa COVID-19 dapat dimaksimalkan dengan produktivitas yang mencirikan kebermaknaan.
Perasaan pobia harus diminimalisir dengan optimis bahwa seluruh aktivitas tetap berlangsung dengan protokol kesehatan tatanan baru (new normal), khususnya dalam segmen penyelenggaraan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah hingga pendidikan tinggi.
Setiap individu, kata Imelda, dituntut harus bersikap lebih tanggap terhadap keterbatasan di masa pandemi untuk tetap produktif dalam menciptakan ruang belajar yang bervariasi.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Sumatera Utara (Sumut), Dewi Sri Indriati Kusuma, mengatakan, pandemi COVID-19 telah memberikan tantangan berat kepada guru karena selama masa pandemi virus tersebut seluruh sekolah ditutup, tetapi guru dituntut mampu menjalankan metode PJJ secara efektif.
Sebab, lanjut Dewi, kegagalan dalam menjalankan PJJ berdampak kepada hilangnya kemampuan belajar siswa (learning loss).
Menyikapi situasi tersebut, para guru perlu dilatih dan didampingi agar mampu menghadapi situasi darurat, seperti yang terjadi pada pandemi COVID-19.
“Kualitas guru dalam melakukan PJJ akan terjaga jika diberikan pelatihan dan pendampingan secara terus menerus,” tuturnya.
Lebih lanjut Dewi mencontohkan situasi proses belajar mengajar selama pandemi COVID-19 di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara (Sumut)
Menurutnya, tantangan PJJ di Pakpak Bharat jauh lebih kompleks dibandingkan daerah lain di Sumut, karena kondisi geografis daerah itu yang sebagian besar terdiri dari pegunungan.
Tidak hanya itu, Pakpak Barat juga masih memiliki masalah keterbatasan infrastruktur, seperti belum semua perkampungan di wilayah itu terjangkau listrik dan jaringan internet.
Kondisi tersebut membuat hanya 25 hingga 30 persen pelajar Pakpak Bharat yang bisa mengikuti PJJ secara daring.
Sedangkan, sisanya harus belajar di luar jaringan (luring), sehingga mengharuskan para guru mendatangi rumah orang tua siswa satu persatu agar anak-anak ini bisa ikut belajar.
“Situasi seperti ini sebelumnya tidak pernah dihadapi guru-guru di Pakpak Bharat, sehingga wajar sekali kalau mereka kebingungan di awal-awal pandemi. Disinilah pentingnya pelatihan dan pendampingan diberikan kepada guru,” ucapnya.
Namun, kata dia, melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan, para guru di daerah itu akhirnya mampu menjalankan metode PJJ sesuai kondisi Pakpak Bharat.
Diakuinya, Wakil Bupati Pakpak Bharat Mutsyuhito Solin banyak berperan nyata mendorong para guru untuk melaksanakan proses pembelajaran jarak jauh selama pandemi COVID-19 melanda daerah itu.
“Selama pandemi COVID-19, Pak Mutsyuhito dan IGI Sumut bekerja sama melatih guru-guru Pakpak Bharat untuk menyusun materi dan menjalankan strategi PJJ, baik secara daring dan tatap muka,” tambahnya.
Sikap cepat tanggap dalam hal kelangsungan proses belajar mengajar pada masa darurat COVID-19 tersebut membuat Wakil Bupati Pakpak Bharat Mutsyuhito Solin terpilih menjadi satu-satunya kepala daerah di Sumut yang dinobatkan sebagai penerima penghargaan Anugerah Pendidikan Indonesia (API) dari Ikatan Guru Indonesia tahun 2022.
Penyerahan penghargaan itu digelar bersamaan dengan perhelatan Global Educational Supllies dan Solutions atau GESS Asia di Jakarta Convention Center (JCC), pada 15 September 2022 lalu.
Mutsyuhito Solin saat dihubungi secara terpisah, mengatakan bahwa keberhasilan belajar siswa melalui metode PJJ sangat dipengaruhi oleh guru dan siswa itu sendiri.
Kualitas guru
Mantan dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) ini, menyebut peran dan kualitas guru berkontribusi sebesar 30 persen kepada prestasi belajar siswa, sedangkan 49 persen dari keberhasilan siswa dipengaruhi oleh karakter siswa itu sendiri.
“Sekolah, rumah, dan lingkungan hanya berkontribusi masing-masing 7 persen, artinya semakin baik mutu guru kita, maka akan semakin baik pula mutu lulusan pendidikan kita,” paparnya.
Menurut dia, kualitas guru akan terjaga jika diberikan pelatihan dan pendampingan secara terus menerus, terlebih pada masa pandemi COVID-19, dimana pembelajaran tidak bisa dilaksanakan secara konvensional maka guru harus dilatih menghadapi situasi baru ini.
“Guru jangan dibiarkan sendirian menghadapi masalah PJJ. Pemerintah daerah harus hadir untuk membantu guru mencari jalan keluar,” ujar dia.
Mutsyuhito membenarkan bahwa pelatihan guru membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, tetapi keterbatasan anggaran pemerintah daerah tidak seharusnya membatasi jumlah dan durasi pelatihan kepada guru.
Sebab, katanya, tidak semua program pelatihan PJJ bagi para guru harus diorganisir dan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah daerah.
Untuk mengatasi keterbatasan anggaran pelatihan bagi para guru, pemerintah daerah seyogyanya bisa berkolaborasi dengan organisasi profesi guru, organisasi mitra pembangunan, dan swasta.
“Pemda tinggal menjadi jembatan agar organisasi-organisasi ini bisa bekerja sama dengan guru-guru kita di daerah. Hal ini yang kami lakukan di Pakpak Bharat. Kami bekerja sama dengan IGI untuk membantu guru menjalankan PJJ,” ucap Mutsyuhito.
Kolaborasi untuk pelatihan guru, lanjutnya, tidak hanya dibutuhkan di masa awal-awal pandemi COVID-19 saja, melainkan juga pada saat angka penyebaran virus corona mulai melandai.
Ia juga mengingatkan bahwa kolaborasi harus dilakukan agar angka learning loss tidak semakin besar dan membawa dampak ekonomi serta sosial di masa depan.
Pada akhirnya, setiap perubahan dalam sistem pembelajaran dapat mendesain kondisi baru dan memiliki distingsi dengan kondisi sebelum dan yang akan datang.
Oleh karena itu, setiap unsur satuan pendidikan harus dapat menyesuaiakan dengan perubahan tersebut untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran secara komprehensif. (T. Nico Adrian)