
Jakarta, 25/11 (LintasMedan) – Jumlah kenderaan bermotor yang terus meningkat di kota-kota besar saat ini, disinyalir menjadi pemicu terbesar pencemaran udara. Dari banyaknya kenderaan yang setiap hari beroperasi di jalanan itu, sekitar 40 sampai 50 persen di antaranya merupakan milik pribadi, karena masyarakat umumnya masih enggan menggunakan jasa transportasi umum massal.
“Salah satu faktor paling dominan menyebabkan buruknya kualitas udara saat ini adalah dari sektor transportasi, yah karena menggunakan bahan bakar minyak,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam diskusi publik bertajuk, Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Medan, dan Makassar”, Kamis (23/11).
Pada dialog yang berlangsung secara virtual tersebut, terungkap polusi udara di kota-kota besar di Indonesia ternyata sudah sangat akut dan menjadi pemicu berbagai gangguan kesehatan bagi masyarakat.
Jika Jakarta menduduki peringkat teratas sebagai kota paling tercemar di dunia sebagiaman data dari perusahaan teknologi kualitas udara asal Swiss, IQAir, maka dikhawatirkan sejumlah kota di provinsi lainnya di Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Dalam dialog publik yang dipandu jurnalis senior, Maulana ini juga menghadirkan sejumlah perwakilan dari beberapa provinsi di Indonesia dan memaparkan tingkat polusi udara di wilayahnya masing-masing.
Untuk Surabaya terungkap terjadi peningkatan ispa di beberapa wilayah ibukota Provinsi Jawa Timur itu sebagaimana catatan Dinas Kesehatan setempat,
Salah satu penyebabnya disinyalir akibat polusi udara dari emisi buang kenderaan yang cukup meningkat signifikan.
Dalam hal ini, sebagaimana disampaikan Budi dari Dinas Perhubungan Surabaya, pihaknya berusaha mengantisipasi dengan terus melakukan proses penataan angkutan umum dan menggantinya dengan transportasi massal (bus).
“Selain itu pemerintah juga akan mengarah kepada kebijakan menggunakan transportasi listrik,” ucapnya.
Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Bali yang semakin padatnya jumlah kenderaan bermotor khsusunya paska pandemi Covid-19 diduga menjadi pemicu meningkatnya jumlah ispa.
Made Patriana dari Dinas Kesehatan Bali menyampaikan data penyakit terutama Ispa tahun 2023,sampai November tercatat 79930 orang, untuk usia 9 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas 60 tahun tercatat 18210 orang terserag Ispa. Angka ini sangat meningkat dibanding tahun 2022.
“Memang sebagian juga akibat beberapa faktor seperti produksi makanan yang mungkin kurang sehat, dan cuaca juga mempengaruhi,” uicapnya.
Sebagai wilayah tujuan wisata, terjadi peningkatan masyarakat yang berkunjung ke pulau dewata itu, diikuti padatnya volume kenderaan bermotor khususnya roda dua.
Menurut Kadek Mudarto dari Dinas Perhubungan Provinsi Bali, tercatat sekitar 4.7 juta kenderaan dan yang aktif membayar pajak sekitar 2.3 juta unit kenderaan.
Menyikapi padatnya jumlah kenderaan yang akhirnya menjadi pemicu polusi udara, pemerintah setempat mengeluarkan Pergub 48 tahun 2019 tentang penggunakan transportasi listrik berbasis baterai yang dinilai lebih ramah lingkungan.
“Memang hasilnya belum terlalu tinggi tetapi perkwartal III tahun 2023, sudah tercatat 4047 unit yang menggunakannya,” kata Kadek.
Upaya mengatasi tingkat pencemaran emisi buang kenderaan bermotor di kota-kota besar, yakni dengan tersedianya fasilitas transportasi massal. Sayangnya dengan dalih berbagai kendela, bus pengangkut banyak penumpang ini, juga umumnya belum mendapat tempat di hati masyarakat. Warga masih lebih tertarik menggunakan pribadi yakni sepeda motor dan mobil.
Padian Seregar, akademisi mewakili Kota Medan, di kesempatan itu berharap Pemko Medan punya komitmen yang sama seperti daerah lainnya, dalam upaya mengurangi tingkat polusi dengan menambah bus atau tranportasi massal,
“Kondisi di Medan juga tidak jauh beda, Saat ini pemerintahnya juga sedang melakukan pembangunan infrastruktur yang jor joran, semoga nantinya bus tranposmasi massal mendapat akses prioritas,” katanya.
Selama ini, bus massal tersebut di Medan, kata Padian masih memakai jalur yang sama dengan kenderaan lainnya, sehingga kerap terjebak macat. “Ini yang membuat warga lebih senang menggunakan sepeda motor, lebih mudah menerobor ruang ruang kemacatan,” ucapnya.
Menurut dia untuk Medan sampai saat ini transportasi massall belum menjadi pilihan dan jumlahnya juga masih sangat terbatas.
Sementara itu Ahmad Safrudin (Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBB) menilai untuk manajemen transportasi pemerintah kota terkesan masih bias pada kepentingan politik.
Meski mengadakan transportasi umum massal di beberapa kota, namun pemerintah justru tidak terlebih dahulu membenahi publik transpornya, yang seharusnya jadi prioritas utama.
“Padahal di berbagai kota sudah kita dorong agar pemerintah bisa menciptakan keinginan masyarakat menghindari mengendarai kenderaan pribadi, masyarakat harus bisa beralih ke publik transpor ataupun berjalan kaki dan bersepeda, namun tidak ada trotoar untuk pejalan kaki, begitu juga jalur sepeda,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu juga terungkap sektor kelistrikan juga menjadi salah satu penyebab pencemaran jika tidak dikelola dengan sebagaimana mestinya.
Dirjen Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Luckmi menyampaikan pemerintah terus mengawasi penggunaan
pembangkit listrik tenaga termal, yang tentu bisa berpotensi mencemari udara.
“Yang dilakukan dengan memperketat baku mutu emisi melalui PemenHK No 15 tahun 2019,” ujarnya.
Pembangikit listrik tenaga termal, kata dia diwajibkan juga memasang peralatan pemantauan untuk mengukur emisinya sebelum di buang ke lingkungan dengan memasang
Continuous Emission Monitoring Systemontinius (CEMS) atau alat ukur yang otomatis dan terkoneksi dengan sistim di KLHK yang juga sudah terintegrasi dengan Kementerian ESDM .(Irma Yuni)