Medan, 30/6 (LintasMedan) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.
Ketua KPU RI Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota pada Sabtu (29/6), sebagaimana dikutip lintasmedan.com dari laman resmi KPU RI.
PKPU tersebut juga mengatur larangan eks koruptor berpartisipasi sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019, yang mana poin itu tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h, berbunyi “Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,”.
Dengan ditetapkannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018, maka ketentuan tentang larangan eks koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sudah bisa diterapkan pada masa pendaftaran bakal caleg mendatang.
Adapun, pendaftaran bakal calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota untuk Pemilu 2019 akan dibuka mulai empat hingga 17 Juli 2018.
Mantan narapidana kasus korupsi resmi dilarang ikut pemilihan legislatif DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota 2019.
Disebutkan, peraturan tersebut resmi berlaku seiring dengan diumumkannya ke publik.
KPU menganggap aturan tersebut sah dan berlaku meski tidak diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang (UNPAM) Tohadi menilai langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan ketentuan larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif dalam Rancangan Peraturan Komisi pemilihan Umum (RPKPU) sudah tepat.
“Ide KPU ini sangat cerdas dan progresif. Saya sangat mendukung dari sisi materinya. Hanya, memang harus dicarikan jalan keluar mengenai formulasi teknis hukumnya. Ini penting agar tidak mengganggu tatanan peraturan perundang-undangan kita,” kata Tohadi dalam keterangan tertulis, belum lama ini.
Tohadi mengatakan persepsi publik terhadap lembaga parlemen sampai saat ini masih sangat negatif, bahkan menempatkannya sebagai lembaga terkorup.
“Pada tataran ini diperlukan caleg yang bersih dan berintegritas,” katanya.
Menurut dia, jabatan parlemen sebagai jabatan publik adalah jabatan kepercayaan sehingga setiap calon pejabat publik seperti halnya anggota parlemen harus memiliki integritas moral yang tinggi.
“Ini sudah menjadi pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007 bertanggal 11 Desember 2007,” katanya.
Menyangkut korupsi, lanjut Rohadi, UU No. 31 Tahun 1999 memperlakukan berbeda kepada terdakwa korupsi dengan pembebanan pembuktian terbalik.
Pasal 37 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membebani terdakwa korupsi melakukan pembuktian terbalik jika ia tidak melakukan korupsi.
“Jadi, sah saja KPU jika memperlakukan khusus kepada mantan koruptor dengan melarang menjadi calon legislatif,” katanya.
Hanya, kata Tohadi, pengaturan mengenai larangan caleg koruptor ini secara teknis hukum tidak boleh diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum karena PKPU itu sebagai pelaksanaan atau penjabaran dari apa yang diatur dalam UU Pemilu.
“Masalahnya, UU Pemilu tidak melarang mantan koruptor mendaftar sebagai caleg. Bahkan Pasal 240 huruf g UU 7/2017 tentang Pemilu masih memberikan hak bagi mantan terpidana yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih menjadi caleg jika yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujar dia. (LMC-03)