Haranggaol, 19/10 (LintasMedan) – Warga Kecamatan Haranggaol menyadari budidaya perikanan dengan sistem Kerambah Jaring Apung (KJA) dengan memanfaatkan air Danau Toba tak mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Simalungun. Pemerintah setempat menginginkan Danau Toba hanya dimanfaatkan sebagai lokasi wisata.
“Kami tahu Pemerintah tak suka dengan KJA, namun mereka juga tak punya solusi untuk kehidupan dan masa depan warga di sini setelah sektor pertanian tak lagi menjanjikan,” kata Herton Nababan, warga Haranggaol saat berbincang-bincang dengan wartawan, baru-baru ini.
Itu pula yang menyebabkan sama sekali tidak ada fasilitas dari pemerintah bagi petani KJA, seperti bantuan benih dan lainnya.
Petani mencari sendiri sumber benih ikan nila yang akan dikembangkannya. Namun dia mengaku heran pemerintah justru membangunTPI (tempat pelelangan ikan) dengan biaya miliaran rupiah di lokasi itu meski tidak berfungsi secara maksimal.
Bahkan, pemerintah daerah memberikan persyaratan yang cukup berat jika tidak ingin KJA ditutup. Jumlahnya dibatasi hanya boleh empat petak saja per KK.
“Itu sama saja dengan menyiksa masyarakat KJA. Dari mana lagi masyarakat memperoleh pendapatan kalau hanya empat petak yang diizinkan. Sementara pertanian tidak bisa lagi diandalkan,” kata Nababan.
Sementara itu, Rikson Saragih yang juga pemilik 20 KJA mengatakan dari 700-an Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Haranggaol, lebih dari 50 persen memanfaatkan perairan Danau Toba sebagai tempat budidaya perikanan.
“Kalau ditotal jumlah KJA yang ada di Kelurahan Haranggaol ini seluruhnya berkisar 6.000 lubang atau petak. Tiap lubang berukuran 5×5 meter per segi dan mampu menampung sekitar 7.500 – 10.000 ekor benih ikan nila,” paparnya.
Sektor perikanan menurutnya memberikan pencerahan penghasilan bagi masyarakat Haranggaol.
Produksi ikan nila yang keluar dari Kelurahan tersebut berkisar antara 20 ton hingga 50 ton per hari. Ikan-ikan nila tersebut dibawa keluar Haranggaol, seperti ke Balige, Medan, Dairi, Karo, dan Rantauprapat.
“Setiap hari benih ikan yang masuk ke kelurahan kami ini rata-rata berkisar 200 ribu ekor. Dengan kebutuhan pakan berupa pellet apung berkisar 30 – 40 ton per hari,” paparnya.
Begitupun, kata dia, pertanian masih tetap dilakoni masyarakat setempat hanya saja bukan lagi andalan seperti dulu. “Pertanian tetap, tetapi hanya sampingan saja,” kata dia.
Karena itu, mereka sangat tidak setuju dengan adanya suara-suara yang mempersoalkan KJA yang dinilai sangat mengganggu kelangsungan Danau Toba, merusak estetika dan tidak mendukung sektor pariwisata.
“Jangan bicara soal Danau Toba di hotel-hotel berbintang. Kalau mau mambahas Danau Toba, lingkungan Danau Toba dan mutu air Danau Toba, kami mengajak elemen-elemen yang mengaku cinta Danau Toba untuk turun ke Haranggaol ini,” tegas Rikson.
Menurutnya, mereka sudah memegang SK Gubernur Sumut tentang Penataan atau zonase KJA. Untuk Haranggaol hanya dibolehkan sekitar 100 hektare. Pengembangan KJA di Haranggaol ini, kata dia tidak lebih dari 100 hektare.
” Kalau berbicara soal cinta Danau Toba dengan mereka yang mengaku cinta Danau Toba tidak lebih besar kecintaan kami yang memang sudah kelahiran di Haranggaol ini,” tegasnya.
Menurutnya kehadiran KJA justru berdampak positif kepada masyarakat Haranggaol seperti menjadi pekerja, tenaga bongkar bibit, pakan, panen bahkan pemberi makan ikan.
Sebelumnya, kata Rikson, masyarakat Haranggaol juga pernah menawarkan konsep Aquawisata ke Pemkab Simalungun dengan catatan pengembangan KJA ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga mendukung sektor pariwisata. Namun, konsep tersebut tidak digubris sama sekali.(Irma)