Medan, 20/8 (LintasMedan) – Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) di Sumatera Utara justru terkesan mempermudah terjadinya konversi.
Sanksi pelanggaran Ranperda lebih ringan daripada ancaman yang ditetapkan undang-undang.
Pasal 49 Ranperda PLP2B disebutkan, pelanggaran ketentuan pengalihfungsian lahan pertanian pangan berkelanjutan dipidana kurungan paling lama 6 bulan dan maksimal denda Rp50 juta. Dalam Ranperda juga tidak disebutkan sanksi kepada pejabat pemerintah yang melakukan alih fungsi lahan.
Sanksi pelanggaran Perda itu jauh lebih ringan daripada sanksi diatur dalam U-U No 41 tahun 2009 tentang PLP2B. Pasal 72 disebutkan perseorangan yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Selain itu, perorangan yang melanggar diwajibkan mengembalikan fungsi lahan. Jika tidak, diancam pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp3.
Sanksi kepada pejabat terhadap pelanggaran ini lebih tinggi dari perorangan. Pejabat yang melakukan alih fungsi lahan diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BPPD) DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan mengatakan substansi Ranperda PLP2B tidak maksimal dibahas.
“Pengesahan Ranperda ini terkesan dipaksakan, hanya sekedar memenuhi target sedangkan produknya diragukan,” katanya, Kamis.
Menurutnya rapat BPPD tidak pernah maksimal karena selalu bersamaan dengan jadwal komisi. Dampaknya, tingkat kehadiran anggota BPPD di bawah 50%. Hal itu mengakibatkan berbagai persoalan yang menjadi substansi ranperda tidak dibahas maksimal.
“Banmus (badan musyawarah) tidak bekerja dengan baik, saya sudah sering sampaikan rapat komisi diadakan pagi, sedang rapat BPPD siang. Tetapi tetap saja jadwal nya tabrakan,” Politisi PDIP ini.
Persoalan lain, Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan 579 tentang penunjukan kawasan hutan masih menjadi polemik dan ditolak oleh beberapa kabupaten. SK ini juga mengakibatkan terkendalanya Perda RTRW Provinsi Sumut karena tidak ada kepastian mengenai penetapan lokasi pertanian. Persoalan lain mengenai batas daerah sampai saat ini belum selesai, sehingga jumlah luasan lahan pertanian itu belum dapat dipastikan.(LMC-02)