Sayang, niat hati ingin menyaksikan pemandangan matahari terbit (sunrise) di puncak penanjakan Gunung Bromo tak kesampaian. Suhu udara di bawah 5 derajat celcius membuat saya dan tiga rekan terpaksa harus pasrah tinggal di dalam salah satu jeep yang membawa rombongan.
Meski berusaha mencoba, namun ternyata tetap tak sanggup menahan udara dingin, ditambah deruan angin yang luar biasa kencang.
Padahal sweater tiga lapis telah membalut tubuh ditambah, syal, sarung tangan dan topi terbuat dari wol yang seharusnya bisa menghangatkan.
Hawa yang luar biasa dingin itu membuat sekujur badan seperti membeku dan kaku.
Seorang wanita paruh baya penjual teh dan kopi hangat yang menghampiri mobil kami mengatakan di wilayah ini sudah empat bulan tidak turun hujan.
Menurutnya, jika musim hujan udara akan tetap dingin tapi tidak sedingin di saat musim kemarau.
Hanya saja jika ingin melihat sunrise terbaik adalah pada saat seperti ini, katanya.
Cukup mengherankan ketika rekan-rekan lainnya ternyata bisa sukses menuju lokasi di atas ketinggian 1500 meter dari permukaan air laut itu.
Hingga akhirnya kamipun hanya mendengar cerita indahnya sunrise dari balik gunung berapi aktif yang terlihat tepat di pukul 4.00 WIB.
Rombongan staf Humas Pemerintah Kota (Pemko Medan) bersama sejumlah jusrnalis yang bertugas di instansi itu memutuskan untuk berkunjung ke obyek wisata unggulan Provinsi Jawa Timur tersebut usai melakukan studi banding ke Kota Surabaya, baru-baru ini.
Langit masih gelap saat rombongan tiba di pintu masuk area wisata Gunung Bromo Desa Cemoro Lawang Kabupaten Probolinggo setelah menempuh perjalanan sekira 4 jam dari Kota Surabaya dengan bus pariwisata.
Sekelompok warga langsung menawarkan perlengkapan ‘penahan dingin’ seperti jaket, sweater, sarung tangan dan topi. Untuk jaket bisa disewa seharga Rp20 ribu hingga Rp25 ribu.
Menuju puncak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Desa Ngadisari yang berudara dingin membutuhkan waktu hampir 1 jam perjalanan menggunakan jeep, namun bisa juga dengan jasa ojek.
Untuk ke obyek wisata itu memang tidak diperbolehkan menggunakan kenderaan pribadi.
Di sepanjang menuju puncak berderet sejumlah homestay dan rumah warga Suku Tengger, yang merupakan penduduk asli setempat. Menyewakan homestay, dan jasa angkutan untuk para wisatawan memang merupakan mata pencaharian mereka, selain bertani sayur mayur.
Legenda Suku Tengger
Rasa kecewa gagal menyaksikan panorama menjelang matahari terbit akhirnya terobati saat tiba di hamparan pasir sekitar kaldera Bromo, atau yang dikenal dengan sebutan ‘pasir berbisik’.
Meski matahari telah menampakkan wujudnya, namun udara masih tetap sejuk dengan deru angin yang bertiup kencang membawa butiran-butiran pasir. Suasana ini seperti membisikkan indahnya pemandangan di lokasi yang juga dikelilingi sejumlah bukit bernama ‘Bukit Teletubies”.
Untuk menuju puncak kawah Bromo dari lokasi pasir berbisik hanya boleh menggunakan jasa kuda, jika tidak sanggup berjalan kaki yang ditempuh lebih dari satu kilometer.
Di tengah lautan pasir luas itu, cuma terdapat satu bangunan pura dan sebuah toilet.
Masyarakat suku Tengger yang tinggal di seputaran puncak Bromo ini merupakan penganut agama Hindu taat, mereka tidak memperbolehkan membangun selain pura di lokasi hamparan pasir itu.
Bagi mereka Gunung Bromo dipercaya sebagai gunung suci.
Sedangkan untuk bangunan toilet juga baru disediakan sekira lima tahun lalu, setelah melalui perembukan para ketua adat suku setempat.
Hal itu sebabkan lokasi pasir berbisik telah menjadi salah satu obyek wisata.
Meski telah menjadi obyek wisata, lokasi pasir berbisik dikenal sebagai tempat yang sakral.
Dari mitos yang beredar pengunjung tidak boleh membawa pasir maupun bebatuan secara sengaja keluar dari lokasi itu walaupun hanya sedikit, karena bencana langsung akan menghadang.
Terkecuali pasir-pasir itu memang tidak sengaja terbawa atau karena tertempel di sepatu.
Seperti diketahui suku Tengger merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit. Asal usul nama Tengger berasal dari legenda sepasang suami istri yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.
Itu pula yang membuat warga Tengger di wilayah itu senantiasa hidup rukun karena merasa bersaudara dan yakin masih satu keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger.
Mereka bahkan bisa hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas Muslim yang tinggal di bawah kaki gunung dan kawasan lainnya di Kabupaten Probolinggo.
Penduduk Tengger yang hidup dari hasil bercocok tanam sayur-sayuran menjual hasilnya untuk diganti dengan beras dan lauk pauk, karena kawasan lereng gunung Bromo sama sekali tidak ditemukan persawahan dan sulit air.
Keharmonisan, kerukunan serta ketentraman warga yang hidup di sekitar obyek wisata tersebut menjadikan Gunung Bromo sebagai destinasi yang teramat indah dan mengundang sensasi berbeda ingin kembali berkunjung ke lokasi itu.(Irma Yuni)