Jakarta, 22/11 (LintasMedan) – Setya, pendiri Persatuan Priawan Indonesia, yang merupakan jaringan kerja antar dan pusat informasi bagi para laki-laki bertubuh perempuan, berharap masyarakat umum mau menerima keberadaan mereka layaknya Warga Negara Indonesia (WNI) lain.
Hal itu disampaikannya di Hari Transgender se Dunia jatuh pada Jumat (20/11) kemarin.
Saat itu sebagaimana dilansir, BBC Indonesia mengadakan tanya jawab dengan Setya di Facebook.
Setya mengatakan tidak terkejut dengan banyaknya pemahaman keliru dan bahkan makian terhadap transgender.
“Masyarakat, masih menilai bahwa transgender adalah “pendosa yang menyalahi kodrat.,” katanya.
Dialog dan diskusi ia anggap penting untuk menjembatani komunitas transgender dengan masyarakat umum. “Senyum saja-lah ya. Paling tidak sudah banyak yg mengetahui tentang LGBTIQ.” ujarnya.
Seorang pengguna Facebook, Dedy Winarno, bertanya bagaimana cara mengubah pandangan negatif masyarakat kepada kaum transgender?
“Sementara para transgender sendiri memilih mengeksklusifkan dirinya, lebih banyak bergaul dengan sesama transgender.
Di sisi lain ketika isu-isu transgender memasuki ranah agama, seringkali terjadi gesekan-gesekan nilai dan pemahaman di dalamnya,” tulis Dedy.
Setya menjelaskan bahwa mengubah pandangan dan stigma masyarakat tidak mudah. Salah satu saran Setya untuk kaum transgender adalah membaur dengan masyarakat.
“Untuk itu, kami mengharapkan kepada masyarakat untuk menerima kami selayaknya warga negara Indonesia pada umumnya, sebab kami juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain,” jawab Setya.
Ia menambahkan isu transgender dalam pergesekan nilai dan pemahaman agama tentu masih bersinggungan dengan stigma masyarakat yang menganggap trangender sebagai pendosa dan menyalahi kodrat Tuhan.
Padahal, stigma tersebut sangat berkaitan dengan sosio-kultural yang mempengaruhi perkembangan doktrin agama saat ini.
Sebut saja adanya dikotomi laki-laki dan perempuan dalam berbagai kepercayaaan agama yang kemudian menjadi status quo. Akhirnya, posisi transgender cenderung sulit diterima dalam pandangan agama apapun.
“Karena itu, saya mengharapkan agar urusan agama kembali ke ranah pivat atau personal. Hal ini akan memungkinkan terciptanya penerimaan transgender di masyarakat,” ucapnya.
Sementara itu, Soe Gie bertanya, “dalam komunitas transgender, apakah priawan sadar kalau pelaku priawan itu sebuah kelainan yang perlu disembuhkan?.”
Setya menjawab transgender bukanlah sebuah penyakit dan kaum transgender sama halnya dengan warga negara lainnya yang harus diperlakukan dengan adil. Hak-hak kami sama dengan masyarakat pada umumnya, antara lain kami berhak untuk mengenyam pendidikan, bekerja, dan bermasyarakat tanpa adanya bentuk-bentuk diskriminasi.
Mohammad Sahrul juga bertanya tentang apa yang dimaksud perempuan bertubuh laki-laki dan apakah transgender itu bawaan sejak lahir atau kerena pergaulan dengan sesama transgender.
“Perempuan bertubuh laki-laki adalah transgender Male to Female—mereka yang secara biologis laki-laki dan menghayati dirinya sebagai perempuan,” jawab Setya.
Ia juga menambahkan, transgender merupakan bawaan sejak lahir dan bukan karena pergaulan dengan transgender lainnya.
Selain itu, Idris mempertanyakan apa di hari transgender mereka (kaum transgender) tidak dibimbing ke arah yang normal atau malah di dukung menjadi transgender dan apa dunia harus mewajarkan semua orang menjadi transgender.
Setya kembali menegaskan transgender bukan sebuah kelainan. “Kami bukanlah insan yang harus ditakuti dan dianggap tidak normal,” tambahnya.
Pertanyaan juga muncul dari akun dengan nama Qiezaqie yang bertanya, “kalau banci atau bencong (maaf) bisa di sebut trangender juga enggak?”
Menurut Setya, tidak semua banci atau bencong disebut transgender. Hal ini tergantung pada kenyamanan identitas gender masing-masing orang.
Eko Prabowo bertanya penyebab kaum transgender merubah kelamin dan apa jika seseorang hanya merubah penampilan serta tingkah lakunya bisa disebut transgender.
Setya menerangkan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk mengubah kelamin. Salah satunya karena mereka merasa tidak nyaman dengan bagian tubuh yang dihayati sesuai dengan gendernya.
Jika mereka hanya menghayati dirinya pada aspek penampilan dan tingkah laku, tanpa diikuti perubahan kelamin, maka mereka bisa disebut transgender. Seperti halnya saya, saya menghayati diri sebagai laki-laki; maka saya berperilaku seperti laki-laki dan tidak melakukan perubahan fisik.
Akun Faiiz Mia mempertanyakan lingkungan sebagai faktor seseorang menjadi transgender.
Setya menjawab trangender dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti bersosialisasi dengan teman-teman transgender ataupun faktor trauma masa kecil yang disebabkan pencabulan atau pelecehan seksual.
Secara garis bersar Setya menerangkan bahwa pemerintah sudah mengakui keberadaan transgender di Indonesia sejak tahun 1969. Organisasi transgender pertama adalah Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin.
Tahun 1980, istilah wadam diganti menjadi waria. Hal ini dikarenakan keberatan sebagian pemimpin Islam yang mengungkapkan bahwa istilah tersebut mengandung nama seorang nabi, yakni Adam a.s.
“Menikah di Indonesia secara legal tentu saja belum bisa. Sebab, undang-undang belum mensahkan pernikahan sesama jenis (LGBTIQ) di Indonesia,” ungkapnya.(LMC/BBC)