
Sutrisno Pangaribuan (Foto:LintasMedan/irma)

Medan, 24/8 (LintasMedan) – Kalangan anggota DPRD Sumatera Utara mempertanyakan sikap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pengelolaan lahan milik DL Sitorus di register 40.
“Ada kesan pemerintah dalam hal ini, KLHK tebang pilih dalam memberi tindakan kepada perusahaan yang ditenggarai melanggar penggunaan fungsi lahan,” kata anggota Komisi c DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan, Kamis.
Dia menilai KLHK melakukan diskriminasi hukum terhadap pengusaha perkebunan DL Sitorus.
“Kita kan sudah sarankan untuk diselesaikan semua. Artinya tidak hanya perusahaan DL Sitorus saja [PT Torganda]. Ada puluhan perusahaan di sana. Baik yang swasta maupun yang BUMN. Kita sampaikan berkali-kali, kenapa hanya pak DL Sitorus saja yang dieksekusi Kejaksaan,” tuturnya.
Politisi PDI Perjuangan tersebut menemukan sekitar 29 perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan Register 40 saat melakukan kunjungan lapangan.
Ia mempertanyakan kenapa hanya Koperasi Bukit Harapan dan KUD Serba Guna di bawah PT Torganda yang diburu KLHK.
“Tidak tahu ini kenapa diperlakukan berbeda dengan beliau (DL Sitorus),” katanya.
Anggota DPRD Sumut dari Fraksi PAN, Aripay Tambunan menilai meninggalnya pengusaha perkebunan asal Sumut DL Sitorus membuka fakta bahwa KLHK tidak berhasil menciptakan iklim kompetisi yang adil dan transparan bagi pengusaha di bidang perkebunan.
“KLHK hanya fokus menindak satu perusahaan diantara sekian perusahaan yang bermasalah di lahan register 40,” ujarnya.
Menurut Aripay, jika pemerintah ingin tegas seharusnya semua perusahaan atau pengusaha yang melakukan usaha di lahan register 40 ditindak tegas jika melanggar aturan.
“Kenapa hanya perusahaan DL Sitorus yang ditindak dan diekpos habis-habisan,” katanya.
Ia menegaskan, sebagai regulator Kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya harusnya berada di posisi netral, tidak berpihak pada kepentingan tertentu.
“Perlakuan terhadap DL Sitorus yang sedemikian tegas, tetapi tidak dilakukan pada pengusaha lain. Ini bisa dipersepsikan sebagai tindakan yang tidak fair oleh pelaku bisnis. Pada akhirnya, pelaku bisnis menilai pemerintah hanya mengakomodasi kepentingan tertenu saja,” ucapnya.
Ia menekankan, Menteri Siti Nurbaya, harus bisa menjelaskan secara gamblang kepada publik siapa saja pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan mengelola lahan di Register 40.
“Agar fair, semuanya diperlakukan sama dan publik bisa menilai bahwa banyak yang melakukan kesalahan,” tambah dia.
Sementara itu dari catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai ada banyak hal yang disembunyikan oleh KLHK terkait penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengelola lahan di register 40.
Ke 29 perusahaan yang diduga menguasai lahan Register 40, di antaranya PT FMP seluas 14.853 hektar, PT W seluas 7.892 ha, PT SSPI seluas 5.500 ha, KBH (dieksekusi) 23.450 ha, PTPN IV, KTPS 14.000 ha, PT AML 21.000 he, Koperasi Langkimat 14.000 ha, PT SSL 33.390 Ha, PT EPS 9.833 Ha, PT KM 2.000 ha, PTPN II 10.000 ha, PT Rapala 10.300 Ha, PT Inhutani IV 19.500 Ha.
Lalu ada ada juga Koperasi Parsub 17.000 ha, Kelompok Masyarakat 10.000 ha, KUD Sinar Baru 3.000 ha, KUD Serba Guna 3.000 ha (sudah memiliki sertifikat), Koperasi KPN 1.500 ha, PT Rispa 5.000 ha, Transmigrasi 7.135 ha, PT SKL 82.502 ha, PT CP 2.000 ha, PT MAI 10.781 Ha, PT KAS 4.870 Ha, PT HBP 4.000 ha, PT AMKS 4.500 Ha, PT AMKS 4.500 ha, PT Jerman 300 ha.
Namun belakangan ini yang mencuat hanya kasus lahan 47 ribu ha, lahan milik perusahaan DL Sitorus. Ini kemudian memunculkan reaksi banyak pihak, dan mempertanyakan alasan dari KLHK yang hanya mempersoalkan DL Sitorus, yang kemudian meninggal pada 3 Agustus 2017 dalam pesawat.(LMC-rel)