Medan, 2/11 (LintasMedan) – Pembangunan bendungan Lau Simeme di Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dijadwalkan akan diresmikan Presiden Joko Widodo akhir tahun 2023, masih menimbulkan masalah bagi masyarakat sekitar yang merupakan pemilik lahan.
Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II Ditjen Sumber Daya Air disebut-sebut belum sepenuhnnya melakukan pembayaran ganti rugi tanah masyarakat sekitar terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) berbiaya sekitar Rp1,3 triliun yang pengerjaannya dimulai tahun 2017 itu.
Hal ini terungkap saat digelar rapat masyarakat pemilik tanah yang tergabung dalam Persatuan Arih Ersada Kecamatan Biru-Biru, dengan kuasa hukumnya dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pro Jokowi (Projo) Sumut, Hendri A Tampubolon, SH.
Dalam rapat yang digelar di kawasan Medan Johor, Selasa (31/10), pengurus Persatuan Arih Ersada yang dihadiri Pjs. Ketua, Nomen Ginting, Sekretaris, Petrus Sembiring, Bendahara I, Perdamen Barus, Bendahara II, Jakub Sembiring, yang dimoderatori Jamuda JW Tarigan, dan beberapa anggota lainnya, meminta Hendri Tampubolon sebagai kuasa hukum Persatuan Arih Ersada, untuk segera mendesak Kementerian PUPR melakukan pembayaran atas tanah mereka yang masuk ke dalam lokasi areal proyek pembangunan Bendungan Lau Simeme.
“Kami meminta Pak Hendri Tambunan sebagai kuasa hukum kami, supaya mendesak pemerintah untuk membayar tanah kami seluas 420 hektar yang terdampak pembangunan yang masuk katagori PSN tersebut. Karena, sampai saat ini, baru tegakan kami saja yang dibayarkan. Sedangkan kuasa sudah kami berikan kepada Pak Tambunan sejak tahun 2021,” kata Pjs. Ketua Persatuan Arih Ersada, Nomen Ginting, dalam rapat tersebut.
Menanggapi desakan itu, Hendri Tampubolon menjelaskan bahwa dirinya sedang melakukan upaya melalui jaringan Projo yang ada di pusat agar permintaan pembayaran tersebut dapat segera dipenuhi oleh pemerintah. “Sudah beberapa kali saya dan beberapa pengurus Persatuan Arih Ersada pergi ke Jakarta mendatangi Kementerian PUPR menanyakan jadwal pembayaran itu. Bahkan saya menemui Ketua Projo, Budi Arif, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), untuk meminta dukungannya agar pembayaran tanah masyarakat yang terkena PSN Bendungan Lau Simeme yang ada di Persatuan Arih Ersada,” beber Hendri Tampubolon kepada peserta rapat.
Tampubolon mengatakan, dirinya sebagai seorang lawyer, harus mempedomani aturan yang ada untuk dapat menyelesaikan setiap kasus atau masalah yang dikuasakan kepadanya. Dia mengaku bahwa semua yang dilakukannya dalam mengupayakan penyelesaian pembayaran tanah masyarakat yang terdampak pembangunan PSN Bendungan Lau Simeme, tetap berpedoman pada aturan-aturan atau ketentuan hukum yang berlaku.
“Dari upaya yang sudah kita lakukan, baik dengan Kementerian PUPR maupun dengan Pak Budi Arif, maka solusi yang dapat digunakan untuk penyelesaian pembayaran tanah masyarakat yang terdampak adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kepmen LHK) Nomor 150/MenLHK/Setjen/PLA.2/2/2022 tentang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Tetap Untuk Pembangunan Bendungan Lau Simeme Atas Nama Kementerian PUPR,” terang Tampubolon.
Tapi luasannya, sambungnya, tidak lagi 420 hektar sebagaimana hasil pengukuran Tim Terpadu sebelumnya, tetapi menjadi 480,02 hektar. Jadi ada penambahan sekitar 60 hektar lebih.
Mendengar penjelasan itu, moderator rapat, Jamuda Tarigan, yang juga Wakil Sekretaris Persatuan Arih Ersada, menyampaikan keberatannya. Menurutnya, yang perlu diurus oleh Tampubolon sebagai kuasa hukum mereka adalah pembebasan tanah seluas 420 hektar saja. Sebab atas tanah tersebut sudah pernah dilakukan pengukuran lapangan oleh Tim Terpadu yang turun ke lokasi.
“Tak perlu diurus yang lainnya. Urus saja yang 420 hektar. Kalau ada penambahan 60 hektar lebih itu, biar saja orang lain yang mengurusnya. Kami membiayai Pak Tampubolon hanya untuk mengurus yang 420 hektar. Bukan yang lain !,” tegas Jamuda Tarigan.
Rapat sempat memanas antara para pengurus Persatuan Arih Ersada dan anggota yang hadir dengan Tampubolon. Namun rapat kembali normal setelah Tampubolon mengatakan bahwa upaya penyelesaiannya tetap berpedoman pada Kepmen LHK Nomor 150 tersebut. “Bahwa dalam Kepmen itu telah ditegaskan, untuk penyelesaian masalah kepada pihak ketiga, hanya diberikan kewenangan kepada Kementerian PUPR. Makanya dalam Kepmen tersebut ada tembusannya ke Menteri Keuangan. Jadi Menteri Keuangan yang nanti yang membayarkannya melalui Kementerian PUPR sebagai pihak yang melaksanakan pembangunan proyek,” jelas Tampubolon.
Akhirnya dicapai kesepakatan antara keduanya dimana Hendri Tampubolon sebagai kuasa hukum dari Persatuan Arih Ersada diminta untuk secepatnya mengurusi proses pembayaran atas tanah mereka yang terdampak proyek pembangunan Bendungan Lau Simeme.
Sementara Ketua Dewan Pertimbangan Provinsi Pergerajan Indonesia Sumut, Drs. Johny Sarinthon, yang turut hadir dalam rapat, mengingatkan kepada seluruh peserta rapat untuk tetap solid dan kompak dalam memperjuangkan haknya. “Jangan mudah terprovokasi oleh pihak lain sebab hal itu akan mempermudah masuknya jaringan mafia tanah di dalam perjuangan Persatuan Arih Ersada Kecamatan Biru-Biru yang saat ini sudah merajalela di Sumut. Kalian harus tetap kompak dan bersatu untuk memperjuangkan hak kalian,” pesan aktivis sosial ini. (LMC/rel)