
Medan, 1/10 (LintasMedan) – Peneliti dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Prof Dr Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, mengungkapkan bahwa sungai-sungai kecil yang sudah tercemar limbah domestik di sekitar kawasan Danau Toba turut memberi kontribusi besar memperparah tingkat kerusakan ekosistem danau terbesar di Asia Tenggara itu.
“Tercemarnya sungai-sungai tersebut terlihat dari kekeruhan airnya yang selama ini terjadi,” papar Endi Setiadi Kartamihardja dalam catatan kesimpulan laporannya yang diterima Redaksi lintasmedan.com, Sabtu.
Sungai-sungai kecil yang bermuara ke Danau Toba, antara lain Sungai Binangoro, Binagara, Saragiras, Salbih, Silubung, Siguluan, Tigaras, Siboro, Batugaga, Atehe, Panahatan, Jonggi Ni Huta, Janji Nathatia, Naborsahan, Pangaloan, Situmurun, Bolon serta beberapa air terjun.
Hasil penelitian Pusat Riset Perikanan Tangkap KKP pada 15-19 Agustus 2017, menyebutkan, limbah domestik yang mencemari belasan daerah aliran sungai di sekitar Danau Toba dominan mengandung bahan kimia jenis fospor.
Kondisi ini menyebabkan Danau Toba mengalami eutrofikasi atau proses penyuburan perairan yang terutama disebabkan oleh masuknya unsur hara fosfor dan nitrogen.
“Kondisi danau yang terlampau subur akibat tingginya kandungan fospor dan nitrogen , maka dipastikan akan menurunkan daya dukung dan kualitas airnya,” ucap dia.

Jika dalam satu tahun rata-rata satu liter air di masing-masing sungai kecil itu mengandung 2,936 miligram (mg) pospor, maka total volume bahan kimia tersebut yang mencemari Danau Toba mencapai 96.669.198.005.760 mg atau setara dengan 96.669,198 ton per tahun.
Dari hasil penelitian tersebut, pihaknya menyimpulkan bahwa beban masukan limbah domestik dari sungai-sungai kecil yang mengalir ke Danau Toba mencapai sedikitnya 53 kali lipat dari beban pencemar yang dihasilkan dari kegiatan budidaya ikan melalui keramba jaring apung (KJA) di danau itu.
Sementara, hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumut 2016, menyebutkan, sebanyak 1.835,81 ton fospor yang berasal dari budidaya ikan melalui KJA masuk ke perairan Danau Toba, atau lebih besar jka dibandingkan kontribusi dari pemanfaat di daerah tangkapan air (domestik, pertanian, padang rumput, sawah, hutan, pertenakan dan curah hujan) yang hanya 608,6 ton per tahun.
“Jika melihat kenyataan seperti ini, kita perlu membuktikan secara rinci dengan didukung fakta yang realistis dan komprehensif lagi untuk menelusuri sumber-sumber pencemar perairan Danau Toba yang sesungguhnya,” ujar Endi.
Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah dan segenap pemangku kepentingan (stakeholders) akan dapat bertindak lebih tepat sasaran dalam upaya pengendalian pencemeran Danau Toba demi keberlanjutan dan kelestarian ekosistemnya.
Pakar di bidang sumber daya dan lingkungan ini, menambahkan, kelestarian dan kesehatan ekosistem Danau Toba akan dapat terealisasi jika semua pihak yang terkait ikut berperan aktif serta menyatukan visi untuk mengelola danau secara benar serta meningkatkan fungsinya untuk kesejahteraan masyarakat.
Hasil pantauan langsung wartawan di lapangan, Jumat, kondisi air di beberapa sungai kecil di sekitar Danau Toba saat ini tampak keruh berwarna coklat.
Di kiri dan kanan daerah aliran sungai terlihat sejumlah parit yang mengalirkan limbah cair yang berasal dari perkampungan penduduk dan usaha ternak masyarakat di sekitarnya.
Beberapa warga mengakui bahwa mereka hingga saat ini belum memiliki sarana sanitasi dan tempat pembuangan limbah rumah tangga yang permanen, sehingga terpaksa dialirkan ke parit yang umumnya mengarah ke daerah aliran sungai-sungai kecil. (LMC-02)