Medan, 9/4 (LintasMedan) – Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Aripay Tambunan, mengemukakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan harus dicabut karena telah membebani petani kelapa sawit Sumut, termasuk di sentra produksi Kabupaten Labuhanbatu.
“Jelas merugikan petani dengan adanya PP Nomor 24/2015 itu dan justru menguntungkan perusahaan berskala besar,” katanya kepada pers, di Medan, Senin.
Ia menilai, peraturan Pemerintah tersebut rentan memberikan ruang bagi penyalahgunaan dana himpun sawit untuk subsidi biodiesel dan bukan untuk mendukung pengembangan petani sawit Indonesia yang tertinggal dalam banyak hal, antara lain sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.
Menurut dia, petani di Sumut turut merasa dirugikan dengan kewajiban membayar dana himpun sawit tersebut.
Penerapan PP Nomor 24/2015, lanjutnya, tidak membuat kemampuan petani sawit di Sumut untuk mendapatkan kesejahteraan hidup meningkat. Ditambah lagi harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani kerap anjlok.
Padahal, kata dia, dana perkebunan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) itu disumbangkan dari tandan buah segar (TBS) petani yang diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) kemudian diekspor ke sejumlah negara.
Pihak BPDP-KS menyatakan penggunaan dana terbesar dari himpun sawit hingga saat ini masih dialokasikan untuk biodiesel, yakni mencapai 89 persen.
Sedangkan untuk peremajaan atau replanting sawit, pengembangan SDM hingga perencanaan-pengelolaan masing-masing hanya satu persen.
“Petani sawit di Sumut umumnya saat ini sedang menghadapi persoalan besarnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai peremajaan,” katanya seraya menambahkan sekitar 40 persen dari 1,2 juta hektare total luas kebun sawit di Sumut saat ini dikelola oleh petani.
Seharusnya, kata Aripay, prinsip pengelolaan dana kelapa sawit benar-benar memperhatikan asas keadilan dan kesejahteraan untuk petani kelapa sawit, termasuk dalam hal pemberian bibit kelapa sawit yang berkualitas kepada petani dan stabilitas harga, sehingga petani tetap bisa mendapatkan keuntungan dari produksinya.
Namun, ia menilai keberadaan BPDP-KS justru hanya menguntungkan beberapa perusahaan perkebunan swasta besar, antara lain Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).
Wilmar Group, misalnya, disebut-sebut mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun atau lebih rendah jika dibandingkan dengan setoran yang diberikan perusahaan tersebut sebesar Rp1,32 triliun.
Sementara, untuk petani sendiri dari total dana himpun sawit tersebut hanya memperoleh sekitar 10 persen yang selanjutnya mesti dibagi kembali.
“Untuk bantuan peremajaan pun hingga saat ini masih sebatas pendataan,” ujarnya.
Terkait hal itu, Aripay mendesak pemerintah agar total dana himpun sawit bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi petani yang melakukan replanting.
Dengan demikian, katanya, dana himpun sawit yang telah berjalan selama tiga tahun tersebut tidak lagi dinikmati oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit besar semata.
Selanjutnya, dia mendesak BPDP-KS mempercepat program peremajaan dan menambah porsi pendanaan untuk meningkatkan produktivitas petani kelapa sawit.
“Peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat harus menjadi prioritas, termasuk di Sumut,” ujarnya.
Usulan pemberian porsi dana himpun sawit yang lebih besar kepada petani, kata Aripay, telah pula disampaikannya kepada Pemerintah pusat melalui Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang di Jakarta, baru-baru ini. (LMC-02)