Jakarta, 10/12 (LintasMedan) – Masyarakat yang hidup turun temurun di kawasan hutan diperbolehkan memungut hasil hutan tanpa izin pejabat berwewenang, asal tidak dilakukan dengan tujuan komersial.
“Masyarakat juga boleh menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan,” kata Hakim Ketua, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis.
Dalam sidang itu, MK mengabulkan sebagian atas uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Amar putusan mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujarnya.
Adapun pasal-pasal yang dikabulkan di antaranya Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-Undang Kehutanan. Pasal 50 ayat 3 huruf e dan huruf i berbunyi setiap orang dilarang (e) menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat berwenang dan (i) menggembalakan ternak dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang.
Pasal itu, melalui putusan MK, ditambahkan poin “ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.” Lalu MK menolak pasal-pasal selebihnya yang digugat pemohon.
Dalam pertimbangan, Mahkamah berpegang pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan negara atas cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak benar-benar dilakukan untuk kemakmuran rakyat,” ujar Anwar.
Gugatan uji materi ini diajukan Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari Guguk Malalo Mawardi, sejumlah petani, di antaranya, Edi Kuswanto, Rosidi bin Parmo, Mursid bin Sarkaya; Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch, Indonesia Corruption Watch, dan Yayasan Silvagama.(LMC/VV)