
Ilustrasi

Medan, 17/6 (LintasMedan) – Kalangan anggota DPRD Sumatera Utara menuding keberadaan PT Inalum di Kabupaten Asahan terkesan telah menghambat pembangunan di provinsi ini, justru setelah perusahaan tersebut menjadi milik BUMN.
Dewan menilai Inalum tidak mematuhi Peraturan Daerah Provinsi Sumut dalam membayar Pajak Air Permukaan Umum (PAP).
Sesuai perhitungan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sumut, PAP yang harus dibayar sebesar Rp521 miliar atau US$40,1 juta per tahun.
“Sebagai wakil rakyat kita sangat kecewa, justru setelah menjadi BUMN, Inalum malah menunda pembayaran pajak yang imbasnya akan menghambat pembangunan Sumut,” kata
Wakil Ketua Komisi C DPRD Sumut, HM Hanafiah Harahap usai memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT Inalum dan Dispenda Sumut, Jum’at.
Dewan minta Inalum mematuhi Perda karena Sumut saat ini sedang defisit anggaran.
“PAD kita dari pajak kendaraan bermotor tidak sesuai harapan. Sekarang pajak APU yang merupakan sumber PAD kedua kita pun dipersoalkan,” kata Politisi Golkar ini.
Untuk itu Hanafiah minta Inalum mengikuti aturan, karena pajak yang dikenakan Dispenda berlaku untuk semua industri di Sumut dan bukan hanya Inalum.
“Tidak ada alasan Inalum memperlambat membayar pajak APU, setelah proses judisial review atau gugatannya terhadap Perda Nomor 1 tahun 2011 dan Pergub Nomor 24 tahun 2014 ke Mahkamah Agung (MA) kandas atau dinyatakan ditolak,” ungkapnya.
Jika Inalum tidak berbesar hati, kata dia Komisi C akan melaporkan persoalan ini ke Presiden Jokowi untuk meminta perlindungan hukum bagi rakyat Sumut.
“Jangan lagi terjadi freeport jilid 2 di Sumut,” ujarnya.
Direktur Operasional PT Inalum (Persero) SS Sijabat pada pertemuan itu berdalih perusahaan telah membayar PAP sesuai Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang diterbitkan Dispenda.
Namun, kata dia untuk SKPD Sungai Asahan Pembangkit Listrik Kepentingan Sendiri, terjadi perbedaan perhitungan antara Inalum dengan Dispenda.
Dia beralasan Inalum menghitung berdasarkan tarif pembangkit listrik yaitu jumlah listrik yang dihasilkan (Kwh).
Inalum melakukan pembayaran menggunakan tarif pembangkitn listrik yang sama dengan PLN sebesar Rp75/Kwh. Sedangkan Dispenda menghitung berdasar tarif industri yaitu kubikasi air (m3) yang dihitung progresif.
Sijabat menjelaskan bila perhitungan Pajak APU berdasarkan kubikasi seperti yang digunakan Dispenda, maka beban PAP Inalum dalam satu tahun berkisar Rp521 miliar atau US$40,1 juta.
Sementara Kabid APU Dispenda Sumut Rita Mestika menjelaskan PT Inalum memakai tiga golongan air, yakni PLN, industi dan non industri. Untuk non industri dan PLN menurutnya tidak terjadi masalah.
“Yang jadi permasalahan di industri,” kata Rita.
Dikatakan Rita, dari SKPD yang dikeluarkan Dispenda, Inalum seharusnya membayar PAP untuk golongan industri sekitar Rp41 miliar hingga Rp43 miliar per bulan. Namun yang sudah disetor Inalum hanya Rp2 miliar berdasarkan perhitungan Rp7,5 per kwh yang dihitung sendiri oleh Inalum.
Atas perbedaan pembayaran ini PT Inalum telah mengajukan surat keberatan ke Gubernur Sumut. Inalum kemudian mengajukan banding pajak ke Pengadilan Pajak karena surat keberatan ditolak gubernur. Hingga kini Inalum dan Pemprov menunggu keputusan dari Pengadilan Pajak.
Rita menambahkan, sebenarnya permasalahan ini sudah pernah dibahas di Kemendagri.
“Salah satu keputusan rapat menegaskan bahwa yang berhak menentukan besaran pajak provinsi adalah kepala daerahnya bukan pihak lain,” katanya.(LMC-02)