Medan, 24/8 (LintasMedan) – Seluruh fraksi di DPRD Sumatera Utara (Sumut) setuju dengan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Namun kalangan wakil rakyat meminta beberapa pasal harus dikoreksi, diantaranya mengenai sanksi yang harus dipertegas, selain itu insentifikasi yang diperoleh petani juga harus diperjelas dalam Ranperda tersebut.
Juru Bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ikrimah Hamidy mengatakan ketentuan pidana pada Ranperda PLP2B yang tertuang pada pasal 49 yaitu bagi pelanggar ketentuan diancam dengan kurungan penjara paling lama enam bulan dan denda Rp50 juta wajib dikoreksi. Sebab tidak sesuai dan bertentangan dengan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41/2009 tentang PLP2B.
“Sanksi pidana di Ranperda dengan yang tertera dalam undang-undang sangat bertentangan. Karena itu perlu dikoreksi,” kata Ikrimah dalam Rapat Paripurna Pandangan Umum Fraksi-Fraksi, di gedung Dewan, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin.
Ketentuan pidana pada UU No 26/2007 dianggap lebih tegas dan berat seperti yang disebutkan pada pasal 69, ayat 1 yakni setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
Begitu juga dengan UU No 41/2009 pasal 72 disebutkan secara terperinci klasifikasi orang-orang yang dianggap melanggar atau melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pada ayat 1 disebutkan orang perseorangan yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyakRp 1 miliar.
Lalu pada ayat 2 setiap orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan ke keadaan semula sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) dan pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar. Selanjutkan di ayat 3 dinyatakan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah satu pertiga dari pidana yang diancamkan.
Sementara dalam ranperda tidak ada scara spesifik diatur terkait sanksi diberikan kepada siapa saja. Bahkan pejabat pemerintah yang ikut serta melakukan alih fungsi lahan tidak tersentuh sanksi seperti yang tertuang dalam undang-undang.
“Karena itu kami mengusulkan agar bunyi ketentuan pidana di dalam Ranperda PLP2B pasal 49 ayat 1 dihapus saja. Cukup diatur pada ketentuan peraturan perundang-undangan karena undang-undang yang mengatur lebih tegas memberikan sanksi,” kata Ikrimah.
Fraksi PKS juga menilai petani tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika lahan pertaniannya beralih fungsi ke perumahan dan perkebunan yang punya nilai ekonomi lebih tinggi. Karena itu di dalam Ranperda PLP2B perlu mempertimbangkan daya dukung lainnya berupa intensif bagi petani yang lebih realistis.
Daya dukung lain yang dimaksud adalah ketersediaan air, pupuk, mesin pertanian, pengolahan hasil pertanian ke bentuk barang lain, penjualan pasca panen dan asuransi bagi petani yang mengalami gagal panen, bagi petani yang dapat menjamin harga jual petani stabil dan petani mendapat kepastian kembali berproduksi.
Juru Bicara Fraksi Partai Demokrat Muhri Fauzi mengatakan pihaknya sejak awal selalu mengingatkan pemerintah daerah untuk secepatnya menyusun payung hukum di daerah yang berhubungan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Mengingat secara nasional, undang-undang yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan telah berumur enam tahun.(LMC-02)
Fraksi Demokrat juga menyoroti ketentuan pidana dalam ranperda tersebut. Karena tidak disebutkan secara spesifik pasal mana yang dilanggar yang dapat diancam dengan pidana dan sanksi administrasi. Penyebutan pelanggaran pidana secara umum dengan tidak menyebutkan pelanggaran atas ketentuan pasal mana tidak lazim dalam kaedah penyusunan peraturan perundang-undangan.