
Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry CH Bangun menyampaikan paparan kepada para jurnalis dan blogger peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, di Medan, Selasa (12/9). (Foto: LintasMedan/ist)

Medan, 12/9 (LintasMedan) – Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry CH Bangun, meminta jurnalis yang tergabung dalam wadah organisasi profesi pers itu agar dalam membuat berita terkait isu kekerasan perempuan dan anak senantiasa mengedepankan sensitif gender.
“Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pemberitaan banyak yang tidak sensitif gender, namun dari semua media massa masih banyak yang memiliki idealis termasuk jurnalisnya,” katanya, saat menyampaikan paparan di depan peserta Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, di Medan, Selasa.
Dalam acara pelatihan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan PWI Sumut itu, Hendry mengungkapkan bahwa dewasa ini banyak pengaruh yang berasal dari pemberitaan media massa terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Namun, lanjutnya, pemberitaan tersebut tidak memberikan pencerahan kepada publik karena tulisan yang disajikan tidak berdasarkan fakta dan tidak berkiblat pada pemberitaan yang benar.
Padahal, kata dia, di dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) telah diatur secara tegas bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Karena itu, pihaknya mengingatkan wartawan agar dalam menulis berita harus berupaya menyamarkan identitas korban kejahatan susila, apalagi masih tergolong anak-anak.
Dalam memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, katanya, wartawan sebaiknya tidak menulis secara lengkap identitas korban, tidak juga menyamarkannya dengan nama lain, misalnya “bunga”, “melati” atau “mawar”.
Dalam identifikasi korban perempuan, sebaiknya sebut saja “seorang perempuan”, “seorang anak” atau “korban” yang menggambarkan identitas korban.
Dikatakannya, pemuatan gambar yang tidak disamarkan juga ikut membuka identitas korban.
“Berita yang terlalu vulgar saat pelaku melakukan kejahatan susila dapat menambah trauma dan penderitaan korban dan menimbulkan copy cat atau fitnah,” ujar Hendry.
Ia menambahkan, masalah kesetaraan gender maupun kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan dan anak, tidak hanya menyangkut kekerasan dan pelecehan seksual, tetapi juga bisa terjadi dalah kehidupan setiap hari, termasuk di dalam rumah tangga.
“Perlakuan terhadap pelemahan perempuan sebenarnya sudah terjadi di dalam lingkungan rumah tangga, seperti kalau menyapu, memasak dan bersih-bersih lainnya selalu dilakukan anak perempuan,” ucap dia.
Hendry juga menyatakan tidak sependapat dengan judul maupun isi berita yang terkesan masih ‘setengah hati’ dalam mempublikasikan keberhasilan atau kisah sukses kaum perempuan di berbagai bidang kair dan profesi.
Ia menyebutkan contoh, judul berita “Rektor Perempuan Pertama di Riau Jalankan Pesan Ayah” yang mengesankan seolah-olah perempuan ini berhasil menapak karir hingga menjabat sebagai rektor hanya menjalankan pesan ayah, bukan karena kehebatan karirnya atau dirinya yang pintar.
“Inilah yang namanya bias gender masih terjadi di dalam diri kita sebagai wartawan,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Sumut, Nurlela menilai pelatihan yang digelar Kementerian PPPA dan PWI tersebut sangat perlu dilakukan dalam upaya penguatan kepada para wartawan dan penulis blogger sehingga berempati terhadap masalah kesetaraan gender maupun perlindungan perempuan dan anak.
“Masih banyak media yang jadi propaganda kasus-kasus perempuan dan anak. Harapan saya kepada jurnalis agar mampu mendorong percepatan pemahaman pengarusutamaan gender,” ucapnya. (LMC-02)