Medan, 24/10 (LintasMedan) – Syakila, salah seorang pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) begitu senang tatkala pengunjung datang dan melihat-lihat stand produk miliknya di kegiatan Lokakarya Perhutanan Sosial yang digelar Dinas Kehutanan Sumut, pekan lalu di Medan.
“Coba dicicipin ini, selai dan dodol buatan kami. Ada juga sirup,” kata wanita berhijab ini sumringah sembari menyodorkan produk makanan olahan yang terletak di atas meja berukuran lebih kurang 2 kali 1 meter itu.
Syakila adalah Ketua Srikandi Bhakti Nyata sekaligus wadah UMKM dari kawasan pesisir tepatnya di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Ia bersama beberapa pelaku UMKM lainnya dibawa Salimin Yahya Ketua Kelompok Tani Bhakti Nyata ikut serta dalam lokakarya yang digelar selama dua hari itu.
Di atas meja stand milik Syakila terletak serumpun buah dan beberapa helai daun yang cukup menarik perhatian pengunjung. “Buah apa ini, agak unik bentuknya. Ini juga daun apa,” ucap salah seorang pengunjung.
“Ini namanya Buah Berembang dan ini Daun Jeruju, banyak tumbuh di kawasan Hutan Mangrove atau di sekitar tempat tinggal kami. Cuma dipetik saja dari hutan dan tidak ada dijual,” ucap ibu tiga anak ini.
Buah penghuni hutan bakau itu, bisa diolah menjadi beragam bahan makanan dan minuman yang ternyata sangat lezat untuk dikonsumsi. Hasil jadinya tersusun rapi di atas meja Syakila.
Rasanya yang asam dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk sirup, dodol dan selai. Olahan berembang yang dimasak dan dicampur gula serta pewarna makanan menjadi bahan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Dodol buah berembang, dihargai Rp15.000 persatu bungkus dan jus Rp.10 ribu perbotol.
Selain buah berembang, Daun Jeruju juga sangat lezat rasanya ketika diolah menjadi rempeyek dan stik.
“Kriyuk-kriyuk dan gurih, daun jeruju ini dibalur dengan tepung terigu dan tapioka kemudian digoreng untuk cemilan di waktu senggang,” ucapnya.
Sayangnya produk olahan berbahan baku dari balik belukar Mangrove ini, belum bisa menembus pasar karena belum berlabel halal. Selain itu, kata Syakila produksinya juga masih terbatas akibat terkendala pemasaran yang masih sebatas pesanan orang perorang saja. “Sering juga ada yang pesan. Bahkan di pameran ini, kemarin langsung ada yang pesan dodol sampai 20 bungkus,” ucapnya sumringah.
Ia punya harapan kedepan produk makanan berbahan baku berembang dan jeruju ini kelak bisa menjadi salah satu mata pencaharian bagi penduduk sekitar tempat tinggalnya.
Sementara itu, Salimin Yahya Ketua Kelompok Tani Bakti Nyata juga menyimpan harapan besar usaha warga pesisir di sekitar mangrove ini terus berkembang dan bisa menjadi mata pencaharian mereka. “Semoga kedepan produk-produk ini terus berkembang dan bisa menopang kehidupan ekonomi warga ke arah yang lebih baik,” ucapnya.
Salimin yang didampingi istri Pujianti bercerita, jika hujan turun atau air sedang pasang warga di kawasan pesisir selalu terkena dampak banjir. “Kawasan itu berlumpur dan becek saat air pasang mulai surut,” ucapnya.
Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Sumut, Ir Herianto memaparkan berdasarkan data PIAPS (peta indikatif areal perhutanan sosial) Sumut memiliki potensi dalam pengajuan persetujuan pengeloaan perhutanan sosial seluas lebih kurang 574.845,16 ha tersebar pada 27 kabupaten.
“Ini membuka kesempatan besar bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya di hutan untuk memperoleh akses dalam mengelola
kawasan hutan negara,” katanya.
Sumut, kata dia telah memiliki 180 Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) seluas 75,629.94 Ha, dengan jumlah KK (Kepala Keluarga) ± 18.301 KK tersebar di 20 kabupaten terdiri dari : Hutan Kemasyarakatan 117 kelompok seluas 42.429,72 Ha.
Hutan Tanaman Rakyat 15 kelompok seluas 15.941,61 Ha, Hutan Desa 14 kelompok seluas 4.459 Ha, Kemitraan Kehutanan (KK)
30 kelompok seluas 5.929,78 Ha, Hutan Adat (HA) 4 kelompok seluas 6.869,83 Ha.
Tersebar sebanyak 210 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pada 180 KPS yang ada dengan potensi utama antara lain Jasa Lingkungan Ekowisata, Silvofishery, Agroforestry (kopi, serai wangi, porang), lebah madu, gambir, Silvopastura, pengolahan/penyulingan minyak atsiri, rotan, kulit manis, aren, tembakau, serta pemanfaatan getah pinus.
Pengembangan perhutanan sosial di Sumut di masa yang akan datang mencakup peningkatan kelas KUPS, pengenalan pasar melalui pasar digital (digital
marketing), pengembangan IAD (Integrated Area Development), pengembangan kewirausahaan, peningkatan produksi dan nilai tambah produk, promosi dan
pemasaran produk dan akses permodalan serta pelibatan stakeholder dalam kerjasama pengembangan.(Irma Yuni)