Medan, 7/11 (LintasMedan) – Infiltrasi paham radikal ke dalam dunia kampus dinilai menjadi salah satu masalah utama bagi pemuda dan mahasiswa Indonesia saat ini. Belakangan paham radikalisme model baru diperkirakan kian marak berkembang di kalangan mahasiswa.
Bahkan kampus dinilai rentan terpapar penyebaran paham dari kelompok tertentu yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan tersebut.
Kelompok tersebut kerap mengincar mereka yang masih labil, cepat frustasi, selalu merasa tidak puas, dan mudah marah terhadap konteks sosial pemerintahan.
Berdasarkan penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2017 lalu, sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah terpapar paham radikal.
Dari survei yang dilakukan diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.
Kondisi ini, menurut Kepala BIN Budi Gunawan, cukup mengkhawatirkan karena berpotensi mengancam keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa kelompok intoleransi, kelompok radikal dan teroris dalam proses merekrut dan propaganda selalu membenturkan agama dan negara.
Pada rentang waktu Januari hingga Juni 2020, ada 84 tersangka terkait jaringan kelompok terorisme dan beberapa di antaranya, terdapat rencana serangan yang berhasil digagalkan aparat keamanan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, ada tiga kelompok radikalisme yang patut dilawan. Mereka adalah kelompok yang suka menyalahkan orang lain, memerangi orang lain, dan mengajak orang mengubah sistem negara yang telah disepakati.
Radikalisme telah menghilangkan sisi kemanusiaan seseorang, termasuk kalangan generasi muda sehingga rasa empati dan nilai persaudaraan itu menjadi hilang.
Ciri-ciri generasi milenial yang kemungkinan terpapar paham radikalisme, antara lain mendadak anti sosial, perubahan sikap emosional ketika berbicara, berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan, memutus komunikasi dengan orang tua dan keluarga, serta menampakkan sikap, pandangan dan tindakan yang berbeda.
Perubahan perilaku tersebut terjadi karena mereka diduga kuat telah mendapat doktrin kekerasan, takfiri, jihad yang salah.
Fenomena tersebut terjadi karena pemahaman jihad dimaknai secara keliru, yakni sebagai jalan dan tindakan kekerasan. Padahal, makna jihad harusnya tidak terlepas dari konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad.
Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka.
Di era disrupsi seperti sekarang, di mana kemajuan teknologi dan informasi tidak terbendung lagi, kelompok radikal menggunakan media sosial sebagai sarana untuk merekrut anggota sebanyak-banyaknya terutama dari kalangan milenial.
Data Kementerian Kominfo menyebutkan, dari 2017 hingga Maret 2019 ada 13.032 konten di media sosial bermuatan radikal yang ditangani oleh lembaga tersebut.
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak tinggal diam. Sudah ribuan akun-akun di media sosial yang memuat konten-konten radikalisme dan terorisme di blokir.
Kelompok radikal maupun teroris dalam banyak hal sangat diuntungkan dan menikmati dan dengan kehadiran produk teknologi berbasis jaringan internet untuk kepentingan rekrutmen, media propaganda, pendidikan pelatihan, dan pembinaan jaringan mereka.
Bahkan, informasi berbasis jaringan internet dan hadirnya revolusi teknologi semakin membantu kelompok radikal dan teroris dalam peningkatan jaringan dan propaganda paham yang mereka usung.
Saking pentingnya keberadaan teknologi dunia maya ini, penyebaran paham radikalisme maupun aksi terorisme dan bom bunuh diri kerap menggunakan teknologi mutakhir lengkap dengan berbagai jejaring sosialnya.
Cendikiawan Indonesia, Ahmad Syafii Maarif, pernah menyatakan bahwa radikalisme yaitu lebih terkait dengan cara pengungkapan keberagamaan seseorang, dan model sikap, sedangkan terorisme secara jelas mencakup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik.
Radikalisme lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme adalah fenomena global yang memerlukan tindakan global juga.
Namun radikalisme kadang-kala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak semuanya dan selamanya begitu. Sejatinya radikalisme adalah satu tahapan atau satu langkah sebelum terorisme.
Pada umumnya, para teroris yang banyak melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, terutama soal keagamaan.
Hubungan terorisme dengan globalisasi kadang diungkap sebagai hubungan simetris. Apabila terorisme dan globalisasi disintesiskan, maka muncul sebuah relasi simbolik antara kedua konsep itu.
Di satu sisi globalisasi telah mendorong peningkatan aktivitas terorisme. Di sisi lain, teroris memanfaatkan instrumen globalisasi seperti internet untuk menyebarkan ancaman ketakutan secara meluas.
Untuk mencegah meluasnya paham yang berpotensi mengancam keutuhan NKRI itu, radikalisme dan terorisme harus dihilangkan dari bumi Indonesia karena bisa mengancam perdamaian dan keharmonisan hidup bangsa dan negara.
Upaya mencegah maupun memerangi penyebaran paham radikalisme bisa dilakukan melalui pembelajaran tentang wawasan kebangsaan dan bela negara.
Perguruan tinggi juga dapat memberdayakan organisasi kemahasiswaan untuk pembinaan ideologi Pancasila.
Harapan besar di balik langkah kongkret itu adalah bagaimana menjadikan kaum milenial khususnya mahasiswa untuk berperan aktif dalam pembangunan dengan berpikir kritis rasional.
Kaum milenial memiliki peranan penting dalam terwujudnya kemajuan bangsa, sehingga mereka diharapkan lebih kritis rasional.
Sebab itulah dibutuhkan langkah dan strategi untuk membentengi generasi milenial dari pengaruh paham kekerasan. Ada tiga lembaga sosial yang memiliki peran penting dalam melindungi generasi milenial dari paparan radikalisme dan terorisme, yaitu keluarga, sekolah dan komunitas/perkumpulan.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah membekali pengetahuan dan wawasan generasi muda yang saat ini hidup di era digital agar lebih bijak dalam menyikapi setiap perkembangan informasi yang terjadi di negeri ini.
Perkembangan teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk membaca peluang untuk berinovasi, kreatif untuk mempromosikan potensi daerah dan membangun pertumbuhan ekonomi melalui teknologi informasi.
Kepala Program Studi Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyatakan upaya untuk melawan radikalisme ialah dengan menggunakan benteng pemikiran kritis.
Kemampuan berpikir kritis, menurut dia, bukan sesuatu yang tiba-tiba terbentuk di dalam masyarakat. Namun dibutuhkan upaya sistematis membangun ekosistem kritis, seperti perpustakaan.
Di Australia, misalnya, perpustakaan dirancang sebagai arena penyelesaian masalah bagi masyarakat, antara lain membantu masyarakat untuk tidak takut dengan teknologi, tetapi justru mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan perubahan.
Sejumlah perpustakaan di negera Kanguru itu, menurut Devie, bukan hanya tempat meminjam dan membaca buku, tetapi menjadi pusat mengembangkan kreativitas, membangun inovasi, menyelesaikan masalah, meningkatkan spirit dan aktivitas kewirausahaan.
Perpustakaan bersifat hybrid, yaitu menyediakan kebutuhan offline dan online. Perpustakaan menyediakan 2T (teknologi dan training), yang seluruhnya diberikan secara gratis.
Pelatihan teknologi yang diberikan gratis meliputi lima area yaitu core skills, extra skills, digital devices, library rewources dan tech kids.
Ia mencontohkan pelatihan yang diberikan antara lain, komputer, internet, editing foto, pemasaran daring, dan robotik.
Australia merancang program-program pelatihan di perpustakaan, untuk menjadikan perpustakaan sebagai ruang mengkoneksikan individu yang satu dengan yang lain, sehingga dengan jaringan baru ini, masyarakat dapat terbantu untuk mendapatkan ide-ide dan membentuk komunitas, yang kemudian secara nyata melakukan bisnis.
Ketika masyarakat sudah memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kesibukan, mereka akan fokus untuk melakukan hal-hal produktif.
Selain itu, mereka juga sudah terbiasa melakukan langkah-langkah rasional, karena senantiasa dapat mengakses fasilitas gratis dan terdepan yang diberikan oleh perpustakaan.
Program penguatan kapasitas masyarakat seperti yang diterapkan oleh sejumlah perpustakaan di Australia itu perlu diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dengan dibarengi kegiatan kongkret menanamkan nilai-nilai dan jiwa nasionalisme serta kebangsaan, karena dinilai efektif mencegah radikalisme menyasar masyarakat maupun kalangan generasi muda. (Irma Yuni)
Note: Artikel ini disertakan dalam lomba Jurnalistik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tahun 2020.