Hari menjelang siang, suasana di Kota Parapat tak lagi sejuk.
Matahari mulai menyengat, membuat ibu penjual mangga, Boru Sinaga,55, terpaksa menutupi sedikit meja jualannya dengan sehelai terpal.
Sepinya pengunjung di lokasi kota wisata itu, akhir pekan kemarin tak lagi membuat ibu dua anak ini sibuk melayani pembeli .
Hanya sesekali dia menawarkan mangga-mangga yang menjadi cirikhas Kota Parapat itu kepada penumpang mobil yang turun di depan tempatnya berjualan.
“Belakangan ini memang sangat sepi orang yang datang ke sini,” kata istri Almarhum Hombing yang mengaku sudah puluhan tahun jualan mangga di kawasan Jalan SM Raja, atau tepatnya di depan Kantor Pos Kota Parapat.
Ibu dua anak ini mengaku tak tahu apa yang menyebabkan pendatang enggan berkunjung ke lokasi obyek wisata yang menjadi salah satu andalan Sumatera Utara.
Namun dia tetap menyimpan harapan besar, Danau Toba kelak kembali ramai seperti dulu hingga mangga-mangga dagangannya laris manis diborong wisatawan.
Hanya saja mimik wajahnya langsung terbengong saat mendengar kalimat “Monaco of Asia” disebutkan.
Ternyata si ibu tak paham adanya wacana pemerintah ingin ‘menyulap’ kawasan tempat tinggalnya bagaikan Monaconya Asia, agar obyek indah itu kembali dikunjungi jutaan wisatawan baik lokal maupun luar negeri.
“Apa iya seperti itu?, kami belum pernah dengar. Apa mungkin warga lain sudah pernah dipanggil rapat-rapat membahas itu ya?,” ujarnya.
Boru Sinaga mengatakan selama ini dia dan warga lainnya hanya kerap menerima informasi bahwa sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba akan ditutup oleh pemerintah.
Menurutnyakabar itu sangat meresahkan, karena hampir separoh masyarakat sekitar menggantungkan hidup dari perusahaan yang dimaksudnya itu.
“Ada yang bilang air Danau Toba jadi kotor dan gatal-gatal akibat banyak kerambah, padahal entah dimana pun yang bikin gatal aku tak tahu. Udang kecil-kecilnya dibilang orang itu lintah di kawasan Haranggaol,” ungkapnya sedikit kesal.
Akibat minimnya informasi tentang rencana pemerintah ingin membangun kawasan Danau Toba menjadi salah satu destinasi pariwisata internasional bagaimana Monaco of Asia, menjadikan ide positif itu belum serta merta mendapat dukungan dari sejumlah warga sekitar Parapat.
Padahal, niat Presiden Joko Widodo ingin menjadikan Danau Toba salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas, seperti Borobudur, Mandalika, Labuhan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Kepulauan Seribu, Toba, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai dan Tanjung Kelayang, adalah untuk mengangkat taraf hidup dan perekonomian warga di sekitar obyek itu.
Presiden bahkan telah berkunjung ke Sumatera Utara untuk meninjau langsung kawasan Danau Toba serta memimpin rapat tentang pengembangan kawasan itu dengan melibatkan beberapa menteri, Plt. Gubernur Sumut serta para Bupati wilayah Danau Toba.
Akan tetapi sebagian masyarakat justru merasa ragu dan cenderung memberi penilaian miring seraya menduga-duga pembangunan kawasan Danau Toba bakal ‘mengancam’ kehidupan mereka.
Seperti disebutkan, Roy Sirait,35 dan Panji Gurning,26, keduanya warga Ajibata Kabupaten Toba Samosir.
Belakangan ini, warga kerap menerima infomasi yang cenderung meresahkan seputar wacana pembangunan kawasan Danau Toba, termasuk penutupan perusahaan penghasil kerambah jaring apung (KJA) tempat mereka mencari nafkah.
“Kita mendukung pembangunan, tapi kalau sampai menutup mata pencaharian tentulah kami resah. Apalagi banyak yang datang kesini menyampaikan infomasi itu,” kata Gurning.
Persoalan yang Diambil Alih
Salah seorang anggota kelompok kerja pengembangan pariwisata berkelanjutan destinasi Danau Toba tahun 2015, Mangindar Simbolon justru mengaku bersyukur persoalan yang melanda kawasan Danau Toba akhirnya diambil alih Pemerintah Pusat bahkan langsung dipantau orang nomor satu di negeri ini yakni Presiden Jokowi.
Sikap Presiden Jokowi ingin menjadikan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata berkelas dunia serta membuat Badan Otorita Kawasan Pariwisata Danau Toba langsung di bawah pimpinannya sebenarnya, secara serta merta telah mengambil alih masalah berkepanjangan yang tak mampu diselesaikan oleh daerah.
Keterlibatan lintas sektor yang dibentuk oleh presiden tentu akan lebih terjamin sehingga tanggungjawab moralnya akan lebih jelas.
“Ini sebuah momentum yang belum pernah terjadi dimana tanggungjawab langsung diambil alih pemerintah, jadi inilah kesempatan terakhir untuk mengembangkan potensi itu,” ucap mantan Bupati Samosir dalam bincang-bincang kepada LintasMedan baru-baru ini.
Menurut Mangindar media juga perlu menyosialisasikan wacana pembangunan pariwisata Danau Toba kepada masyarakat agar program pemerintah itu benar-benar dipahami semua pihak.
Selama dua periode menjabat Bupati di wilayah yang dialiri Danau Toba tersebut Mangindar mengaku telah mati-matian memprogramkan visi misi jangka panjang untuk pariwisata, namun kemajuan sektor tersebut tetap melamban.
Meskipun sejak jaman dahulu umumnya orang tahu Danau Toba itu hebat, namun kenapa potensi yang besar itu tidak bisa diaktualkan?.
Persoalan inipun akhirnya dibahas di Kementerian Pariwisata 6 Agustus 2015 lalu guna mencari solusi apa sebenarnya yang salah dalam program-program yang dibuat selama ini.
Dalam pembahasan itu menurut dia diperoleh satu kesimpulan, ternyata kegagalan yang lalu akibat tidak adanya lembaga yang bertanggungjawab penuh terkait persoalan itu.
Selain itu untuk bicara tentang pengembangan pariwisata tentu tidak bisa hanya melibatkan menteri pariwisata saja, karena ada perangkat pendukung lain yang mengikutinya seperti infrastruktur, bandara dan lain-lain.
“Jadi harus secara integrasi dan ada badan khusus yang menangani,” tuturnya.
Mangindar mengatakan wacana pembangunan Danau Toba sebenarnya bukan proses yang baru, namun merupakan program yang sebelumnya telah dijalankan oleh masing-masing pihak di daerah tapi tidak maju-maju. Hingga belakangan Presiden Jokowi memberi pernyataan tegas Danau Toba harus diberi sentuhan agar bisa maju bagaikan Monaco.
Kesimpulan dan Saran
Wacana dan kebijakan pemerintah pusat ingin membangun kawasan Danau Toba menjadi destinasi wisata berstandar internasional bagaikan Monaco nya Asia diyakini akan memberi dampak positif di tengah-tengah masyarakat Sumut, khususnya warga yang bermukim di seputar Danau Toba.
Seperti diketahui Monaco adalah negeri kecil di Eropa yang menjadi lokasi balap mobil F1 di Monte Carlo.
Meski medannya yang jauh lebih berat dan terjal dari kawasan Danau Toba, namun infrastruktur jalan yang unik bagaikan pulau karang di wilayah itu bisa begitu bagus dan mulus.
Monaco dikenal sebagai negara yang makmur melalui pembangunan pariwisata yang akhirnya mendatangkan banyak turis dan uang.
Mengutip dari situs Visit Monaco, Monaco memiliki 8 museum yang masing-masing yang berisikan sejarah negara Monaco sampai temuan-temuan bersejarah di Laut Mediterania di Museum Oceanographic.
Monaco juga punya 7 taman yang indah yang paling terkenal adalah Japanese Garden. Taman seluas 7.000 meter persegi ini akan membuat turis berasa di Jepang.
Terkait pembangunan kawasan Danau Toba pemerintah pusat dan daerah diharap bisa menyosialisakan lebih rinci wacana ‘penyamaan’ dan dampak positif Monaco bagi kehidupan masyarakat di wilayah ini.
Atau setidaknya memberi penjelasan minimal pembangunan infrastruktur jalan di Danau Toba bisa mulus seperti Monaco saja sudah sangat memudahkan dan menyenangkan untuk wisatawan yang akan berkunjung.
Sosialisasi agar dilakukan secara langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat sehingga warga tidak mendapatkan beragam informasi yang simpang siur bahkan terkesan negatif.
Apalagi saat ini masyarakat umumnya dilanda kekhawatiran kehidupan dan mata pencaharian mereka bakal ‘terancam’ dampak dari pembangunan itu.
Pasalnya warga yang umumnya menggantungkan hidup dari sektor kerambah menerima informasi bahwa sektor perikanan itu segera ditutup dan sejumlah perusahaan yang bergerak di di bidang kerambah jaring apung (KJA) tidak lagi boleh beroperasi di sekitar obyek wisata itu.
Akibat kesimpangsiuran informasi tersebut tidak hanya meresahkan masyarakat namun juga kalangan dunia usaha yang berinvestasi di negeri ini.
Penataan sektor perikanan budidaya melalui KJA terkesan menjadi persoalan yang paling mengemuka dalam rangkaian rencana pembangunan Danau Toba.
Sementara mengenai penataan KJA tersebut hingga kini masih menunggu Peraturan Gubernur (Pergub) Sumut, dimana salah satunya terkait tata ruang atau zonasi, jumlah kerambah yang diperbolehkan serta pengendalian.
Penataan KJA, kata Bupati Simalungun Binsar Situmorang kepada wartawan baru-baru ini, masih terus dibahas dan dikaji secara akademis dengan turut melibatkan pemerintah 7 kabupaten/kota di kawasan Danau Toba.
Dia menjelaskan sesuai dengan Perpers 81 tahun 2014 tentang tata ruang kawasan Danau Toba, wewenang yang mengatur zonasi ada di Pemprov Sumut.
“Pergubnya masih dalam bahasan nanti kalau sudah terbit langsung disosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.(Irma Yuni SE) ******
(Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba karya tulis dalam rangka Hari Jadi ke – 68 Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 yang diselenggaran Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Sumut)